Selama ini Indonesia memang dikenal memiliki beragam budaya dan tradisi. Salah satunya seperti ritual Wulla Poddu yang dilakukan oleh agama Marapu, suatu kepercayaan atau agama asli nusantara yang dianut oleh penduduk asli Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Wulla Poddu merupakan ritual yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Marapu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ritual ini menjadi salah satu hal yang penting dan rutin dilakukan oleh masyarakat Marapu guna menjadi pedoman atau petunjuk dalam berbagai aspek kehidupan.
Melansir dari GNFI, ritual Wulla Poddu diambil dari kata ‘Wulla’ yang berarti bulan dan ‘Poddu’ yang berarti pahit. Maka Wulla Poddu dapat diartikan sebagai bulan pahit yang merujuk kepada kondisi pada bulan tersebut, ada sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh penganutnya dan serangkaian ritual ketat yang harus dijalankan.
Penganut kepercayaan Marapu menganggap ritual tersebut sebagai bulan suci yang dinantikan.
Proses Ritual Wulla Poddu
Masyarakat yang melaksanakan Wulla Poddu dilarang untuk melakukan kegiatan mereka sehari-harinya seperti bekerja di ladang dan mengadakan upacara kematian serta acara lainnya yang meriah.
Aturan tersebut ditetapkan karena Wulla Poddu dianggap sebagai suatu ritual yang sakral sehingga kegiatan lainnya tidak bisa dilakukan bersamaan dengan ritual ini.
Pertama-tama ritual akan dibuka dengan pertemuan antara kedua Rato Rumata atau tetua untuk mendapatkan kesepakatan kapan akan dimulainya rangkaian ritual inti atau yang disebut juga sebagai Deke Ana Kaleku.
Lalu setelah itu akan ada ritual untuk menggambarkan kembali proses terciptanya manusia sesuai dengan kepercayaan Marapu atau disebut Tubba Rata.
Selanjutnya dilakukan pemanggilan para leluhur (Marapu) ke ritual tersebut untuk memberitahu Wulla Poddu sudah dilaksanakan. Rangkaian ini disebut sebagai Tauna Marapu.
Dilanjutkan juga dengan pengumuman mengenai aturan dan larangan-larangan bagi masyarakat Marapu di ritual ini yang harus ditaati atau dinamakan sebagai Padeddalana.
Terdapat juga prosesi pemotongan pohon sebagai pengganti pohon mawo (pelindung) yang dipercaya masyarakat dapat melindungi dari bencana alam seperti angin puting beliung, kilat, maupun gangguan-gangguan dari manusia dan roh-roh jahat dan terhindar dari segala penyakit baik bagi manusia maupun hewan peliharaan.
Setelah itu, kegiatan ritual dilanjutkan dengan Mu’u Luwa atau memakan ubi dan memberikan waktu bermusyawarah kepada para tetua untuk menentukan proses Wulla Poddu akan berjalan seperti apa.
Setelah diskusi selesai, akan dilanjut dengan Tobba Wano, membersihkan roh-roh jahat yang ada dan juga membersihkan segala perbuatan tidak baik yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan abu dapur dan bulu ayam.
Tak berhenti di situ, masih ada prosesi Woleka Lakawa atau melatih anak-anak dan orang dewasa untuk menari dan menyanyi sebagai salah satu rangkaian dari ritual.
Kemudian masuk ke tahap menjemput tamu dari kampung sebelah untuk mengambil bukti perjanjian leluhur bahwa kampung yang bersangkutan harus tetap menjalankan ritual Wulla Poddu atau dinamai dengan tahap Regga Kulla.
Setelah itu, perkunjungan tetua atau Dukki Tappe–Toma Lunna, melaporkan diri kepada leluhur setempat terkait keikutsertaan dalam ritual Wulla Poddu. Selanjutnya tahap Wolla Kawuku, perayaan dengan tari-tarian khusus untuk ritual atau disebut juga dengan Woleka Lakawa.
Tak hanya Wolla Kawuku, ada juga Wolla Wiasa Karua yakni merayakan beras suci. Beras suci tersebut akan ditumbuk oleh tetua yang bertanggung jawab, lalu dimasak dan disajikan kepada leluhur. Sementara Wolla Wiasa Kappai terbagi menjadi dua proses, pertama yakni menimba air suci yang akan digunakan pada saat upacara puncak atau (Oke We’e Maringi) dan yang kedua pemotongan pucuk daun kelapa sebagai tanda larangan pada saat acara puncak yang sama (Pogo Weri).
Satu tahap lagi menuju puncak, ada upacara Mana’a yang merupakan acara makan bersama dengan semua warga yang hadir dan diwajibkan untuk membawa seekor ayam yang akan didoakan kepada leluhur dan Sang Pencipta untuk meminta berkat kemudian disembelih untuk mengetahui jawabannya melalui jeroan ayam.
Puncaknya adalah Kalango Loddo pergelaran berbagai macam rangkaian pertunjukan seperti tarian dan nyanyian lagu-lagu adat, serta menggambarkan atau mengisahkan kembali kejadian-kejadian leluhur.
Setelah acara puncak masih ada Padinnaka Nga’a Bisa, yang berlangsung pada hari ketiga setelah upacara Kalango Loddo terlaksana. Acara ini merupakan kegiatan menanam bibit padi di setiap kebun kecil yang berada di bagian bawah Kampung Tambera, dan acara kedua yaitu penyimpanan kembali benda-benda sakral pada tempatnya yang digunakan selama ritual Wulla Poddu.
Setelahnya masih ada upacara Woti Kalowo yang dilaksanakan di dalam goa sakral sebagai bentuk pengucapan syukur kepada leluhur dan Sang Pencipta karena Wulla Poddu telah berjalan dengan baik.
Terakhir, rangkaian ritual ditutup dengan kegiatan yang dinamai Yemo (Kobba), yaitu mengumumkan kepada seluruh masyarakat bahwa Wulla Poddu telah selesai.
Melansir penjelasan di laman Kemdikbud, pada dasarnya hampir semua wilayah di Sumba Barat merayakan ritual Wulla Poddu. Di wilayah Lamboya kegiatan berpusat di Kampung Sodan dan Kadengar, di Wanokaka berpusat di Kampung Kadoku, sedangkan di Tana Righu berpusat di Kampung Ombarade.
Namun selain semua pelaksanaan pada wilayah di atas, pelaksanaan ritual terbesar terdapat di wilayah Loli. Hampir semua kampung adat utama di wilayah tersebut merayakan Wulla Poddu, lebih tepatnya pada Kampung Tambera, Tarung, Bondo Maroto, dan Gollu selaku kampung-kampung sentra ritual.
Dengan rangkaian panjang dari ritual tersebut, pengunjung dari luar daerah yang ingin menyaksikan rangkaian ritual Wulla Poddu disebutkan dapat menyaksikannya di kisaran bulan Oktober hingga November.