Ketika bekerja, apakah Sobat SJ adalah tipe karyawan yang membuka banyak tab task dalam waktu bersamaan? Atau, ketika sedang mengerjakan skripsi, kalian sembari cek Instagram? Bahkan, ketika mengendarai mobil, kalian juga sambil telponan? Multitasking boleh, namun kalian perlu tahu bahwa multitasking adalah mitos!
Yaps, pada dasarnya, multitasking yang seolah membuat kita memiliki perasaan lebih produktif karena mampu menyelesaikan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan adalah mitos belaka. Ih, kenapa bisa begitu, ya?
Arti multitask sendiri adalah usaha untuk menyelesaikan beragam tugas dengan waktu bersamaan. Namun menurut Dr. Sahar Yousef, seorang cognitive neuroscientist dari UC Barkeley memaparkan kalau multitasking adalah mitos.
“Apa yang sebenarnya manusia lakukan adalah berpindah tugas secara cepat (bukan multitasking). Setiap manusia melakukan perpindahan tugas tersebut, manusia harus membayar ‘biaya’ berupa energi atau waktu yang mereka miliki,” jelasnya, dikutip Creative Cloud Adobe.
Faktanya, multitasking memiliki dampak buruk bagi seseorang, loh, Sob. Simak penjelasannya di bawah ini, deh.
1. Multitasking Bikin Otak Terbebani
Menurut Daniel Levitin, profesor di bidang behavioral neuroscience dari University of Berkeley, berpindah tugas secara cepat mengharuskan seseorang melakukan biological cost yang membuat kita lelah.
Hal ini disebabkan, sebenarnya otak manusia tidak didesain untuk melakukan multitasking. Otak kita berkembang dan berevolusi untuk menjadi mono tasker alias berpikir dan mengerjakan satu hal dalam satu waktu. Menurut penelitian, ketika kita berpindah tugas secara cepat, sebenarnya otak manusia jadi bekerja lebih keras dan terbebani.
Penelitian di bidang lainnya juga menyimpulkan kalau dampak buruk dari multitasking lainnya adalah bikin seseorang mudah stres dan burn out, Sob. Wah, apakah kamu pernah merasakan stres karena mengerjakan banyak tugas dalam sekali waktu?
2. Multitasking Menghasilkan Karya yang Tidak Maksimal
Saat kita mengerjakan beragam tugas dalam satu waktu sekaligus, otak dituntut untuk bekerja lebih keras. Saat kita melakukan switching dari tab task A ke B, misalnya, otak kita rupanya mendapatkan attention residu di mana kita sebenarnya belum mampu sepenuhnya untuk fokus memikirkan pekerjaan B. Istilahnya, sih, otak kita masih nyantol kepikiran tab task A.
Dr. David Meyer, dkk. pada tahun 2006 melakukan sebuah penelitian bertajuk Multitasking: Switching costs. Di dalam penelitian tersebut dijelaskan kalau multitasking malah memakan waktu sedikit lambat daripada mono tasking. Meyer mengatakan jika pekerja bisa mengalami mental block ketika melakukan switching ketika berpindah tugas, hal ini bahkan menghabiskan 40 persen waktu produktif seseorang.
Dengan sistem penyelesaian yang ternyata lebih lambat, bukan tidak mungkin karya atau pekerjaan yang dihasilkan seorang multitasker tidak maksimal karena dikejar oleh tenggat waktu untuk menyelesaikan ‘beraneka’ pekerjaan. Mau nggak mau, seseorang membutuhkan tenaga lebih agar pekerjaan tersebut tepat dan cepat selesai.
3. Multitasking sebabkan Gangguan Fisik
Selain bikin seseorang stres dan burnout, multitasking terbukti dapat meningkatkan detak jantung dan kadar hormon stres kortisol.
Tak hanya itu, dilansir Very Well Mind, risiko terserang penuaan otak dini, dan kontrol impuls jadi buruk adalah beberapa gangguan fisik yang bakal dirasakan ketika terlalu sering multitasking.
Lalu, Apa yang Harus Dilakukan agar Tidak Terkena Dampaknya?
Ketika sudah mengetahui bahwa multitasking adalah mitos, maka solusi yang bisa dilakukan agar tidak terkena dampaknya adalah berganti mode kerja; menjadi monotasking. Sebab, otak kita lebih cocok untuk mengerjakan satu tugas pada satu waktu, lalu berpindah ke tugas lainnya saat pekerjaan sebelumnya sudah selesai.
Sobat SJ bisa tentukan skala prioritas pekerjaan terlebih dahulu, ya, mana yang akan diselesaikan duluan, nih. Misal, kamu mengerjakan tugas yang penting atau mudah terlebih dahulu agar memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan tugas skala sulit. Dengan menentukan skala prioritas, kita bisa alokasikan waktu untuk bekerja fokus dengan hasil maksimal.
Seperti kata Dr. Sahar Yousef, “you’re the designer, you know your brain and your own conscious experience,” yang artinya kurang lebih seperti ini, “kamu adalah ‘desainer’, kamu yang mengetahui cara kerja otakmu dan pengalaman yang kamu dapatkan dalam keadaan sadar sepenuhnya.”