- Sejak 2008 BMKG Indonesia tak lagi memakai satuan skala Richter dan menggantinya dengan Magnitudo
- Skala Richter punya kelemahan tak bisa menggambarkan energi yang terkandung di gempa
Sebagai negara yang terletak di cincin api (Ring of Fire) pasifik atau pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Lempeng Indo-Austalia, Lempeng Eurasia dan Lempek Pasifik, Indonesia menjadi negara yang rawan dengan bencana seperti gempa bumi hingga, letusan gunung berapi hingga tsunami.
Hal ini disebabkan sebanyak 90-80 persen gempa bumi ada di wilayah ring of fire. Tiga lempeng yang saling bertemu ini kadang memiliki akumulasi energi tabrakan yang jika tak sanggup ditahan bakal memicu gempa bumi.
Di Indonesia, informasi tentang bencana; dari gempa bumi, letusan gunung hingga ancaman tsunami semuanya diumumkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Organisasi ini mengungkap informasi gempa secara real-time lengkap dari lokasi pusat gempa, waktu, lintang-bujur, kedalaman dan skala besarannya. Informasi ini bisa kamu akses di laman situs BMKG, Sob.
Bagaimana BMKG Mendeteksi Gempa?
Sedari di bangku sekolah, kita mengetahui bahwa alat untuk mengukur gempa bumi bernama seismograf. Tapi untuk menerjemahkan seismograf dan menjadikannya informasi ke masyarakat yang mudah dipahami ada sederet peralatan yang digunakan BMKG.
Yang pertama tentunya Seismograf yaitu alat berupa sensor yang dipasang di tanah dan bisa mendeteksi getaran pada permukaan tanah. Sensor inilah yang dinamakan seismometer dan bertugas untuk mengukur amplitudo dengan satuan mikrometer pada jarak 100 km dari pusat terjadinya gempa.
Prinsip kerja dari alat ini seperti bandul sederhana, Sob. Ketika mendapatkan usikan atau gangguan dari luar seperti gelombang seismik, maka bandul akan bergetar dan merekam datanya seperti grafik atau kurva di atas kertas. Jika pola yang terekam bentuknya gerakan bolak-balik dari grafik, maka itu dinamakan getaran.
Seismograf modern menggunakan elektromagnetik seismographer untuk memindahkan volatilitas sistem kawat tarik ke suatu daerah magnetik. Dengan begitu, dapat diketahui kekuatan dan arah gempa lewat gambaran gerakan Bumi yang dicatat dalam bentuk rekaman atau disebut juga seismogram.
Seismogram mengandung berbagai macam infomasi yakni kombinasi pengaruh sumber seismik, lintasan perambatan, dan noise pada lokasi perekaman. Seismogram inilah yang kemudian dianalisis.
Selain itu ada juga alat akselerograf yang berfungsi untuk merekam guncangan tanah sehingga percepatan permukaan tanah terukur. Peralatan ini berguan dalam pengamatan gempa bumi karena seismograf terkenal sensitif. Jadi hasil rekaman seismograf kadang offscale atau berhenti mencatat ketika gempa bumi terjadi sangat kuat.
Alat selanjutanya ialah Intensitymeter, mesin ini digunakan untuk mengetahui intesitas kejadian gempa bumi. Hingga saat ini secara keseluruhan BMKG telah mengoperasikan 56 intensitymeter pada jaringan monitoring gempa bumi kuat di Indonesia.
Alat Pendeteksi makin Canggih
Dengan semakin berkembanganya teknologi, fitur-fitur di alat pendeteksi gempa juga semakin canggih. Termasuk di Indonesia, Sob.
Sejak tsunami Aceh 2004, Indonesia menggunakan broadband seismometer yang memanfaatkan frekuensi agar laporan didapatkan secara real time. Jangkauan frekuensi yang dimiliki broadband seismograf lebih luas dari pada seismograf biasa. Frekuensinya berkisar antara 0,01 hingga 50 Hertz. Alat ini sensitif terhadap perubahan suhu dan atmosfer pula.
Data getaran yang terekam di alat pendeteksi dikirim menuju amplifier untuk diteruskan ke alat konversi digital dari data analog. Melalui perangkat lunak NetRec atau MnoST di komputer, data kemudian diolah. Selain pengolahan data menggunakan perangkat lunak, terdapat alat bernama D1 Seismic Processing System (seiscomp3) yang membantu pihak BMKG mendapatkan informasi terkait titik gempa dan besaran getarannya.
Jika getaran melebihi 7 magnitudo, maka akan terhubung langsung ke alat D2 Back up Toast untuk mengetahui potensial tsunami. Sedangkan guncangan di bawah 5 magnitudo datanya bakal terhubung ke D4 Dissemination System dan langsung dipublikasikan terkait titik gempa serta skala angka guncangan tersebut.
Diketahui, BMKG punya 33 stasiun geofisika dengan 285 seismometer atau alat untuk mendeteksi titik asal gempa. Semua seismometer tersebut terhubung ke ruang operasional peringatan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami di BMKG.
BMKG Gunakan Magnitudo, Apa Bedanya dengan Skala Richter?
Sobat, kalau kamu perhatikan, satuan ukuran gempa di Indonesia menggunakan magnitudo bukan skala Richter seperti dahulu. Ih, kenapa, ya? Contohnya seperti gempa Aceh pada tahun 2004 yang mengakibatkan tsunami. Gempa tersebut ternyata terukur sebesar 9.1 – 9.3 skala richter.
Namun sekarang, satuan gempa memakai magnitudo, Sob. Sudah sejak 2008, BMKG tak lagi memakai satuan skala Richter dan menggantinya dengan magnitudo. Apa alasannya? Sejumlah negara serta akademisi rupanya udah nggak menggunakan satuan ini karena udah nggak relevan, Sob.
Lebih detailnya, satuan tersebut menurut mereka biasanya dipakai untuk ruang lingkup sempit dengan gempa kekuatan kecil. Skala Richter juga punya kelemahan tak bisa menggambarkan energi yang terkandung di gempa. Hitungan ini menjadi kurang akurat apabila terjadi gempa berkekuatan diatas 6,0.
Sedangkan Magnitudo diyakini lebih representatif untuk mengukur kekuatan gempa karena mampu mempresentasikan energi gempa dari sumbernya akibat perpindahan yang terjadi pada suatu luasan kerak Bumi.
“Skala Richter ini hanya cocok untuk gempa-gempa dekat atau gempa lokal dengan Magnitudo gempa di bawah 6,0. Di atas Magnitudo 6,0 maka perhitungan dengan teknik Richter ini menjadi tidak representatif lagi,” jelas Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami (KBMG) BMKG, Daryono.
Saat ini penggunaan Magnitudo untuk satuan ukuran gempa sudah umum dipakai lembaga monitoring gempa di dunia. Dalam penyebutan kekuatan atau Magnitudo gempa bumi, sekarang BMKG hanya menuliskan huruf M kapital saja di depan angka Magnitudo gempa.
“Sebagai contoh untuk gempa berkekuatan Magnitudo 7,1 penulisannya adalah M7,1 atau M=7,1. Untuk penulisan standar di Indonesia menggunakan tanda koma (,) sedangkan titik (.) untuk standar luar negeri,” ujar Daryono.
Penjelasan lengkap mengenai alasan mengapa Indonesia sering mengalami gempa bumi hingga cara lembaga BMKG mendeteksinya tadi semoga menjadi ilmu baru, ya, bagi kamu, Sob. Jangan lupa sebarkan ilmu baik ini!