Di masa serba digital saat ini, masyarakat Indonesia mungkin hanya mengetahui dua jenis wayang, yakni Wayang Kulit dan Wayang Golek. Tapi tahu kah Anda, jika wayang pertama kali yang ada di Indonesia adalah Wayang Beber.
Menurut berbagai catatan, Wayang Beber sendiri merupakan seni pertunjukan wayang yang penyajiannya diwujudkan dalam bentangan atau lembaran kertas atau kain bergambar dengan stilisasi wayang kulit disertai narasi oleh seorang dalang.
Pertunjukan Wayang Beber di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Ma Huan (seorang muslim Tiongkok) serta Fei Xin (anggota militer armada laksamana Cheng Ho) saat kunjungan Cheng Ho ke Pulau Jawa sekitar tahun 1413-1415. Pada saat itu, Ma Huan dan Fei Xin menceritakan pada kitab Ying Yai Sheng Lan.
Selain itu, konon Walisongo di antaranya Sunan Kalijaga memodifikasi wayang tertua di Indonesia menjadi Wayang Kulit dengan bentuk yang bersifat ornamen seperti saat ini. Di Indonesia, wayang langka tinggal dua buah saja yang terjaga. Pertama yang tertua berada disimpan dan dijaga oleh Mbah Mardi dari Desa Karang Talun, Kelurahan Gedompol, Kecamatan Donorojo, Pacitan, Jawa Timur.
Kedua terdapat di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Wonosari yang dipegang oleh Ki Supar (keturunan ketujuh Kyai Remeng Mangunjaya). Wayang yang berada di Pacitan dan Wonosari setelah diteliti sama-sama melakonkan cerita pada masa kerajaan Kediri dan Majapahit. Perbedaannya hanya terletak pada tokoh-tokoh pada gambar dan latar belakang.
Catatan lain menuliskan jika pada masa Kerajaan Jenggala gambar yang disuguhkan pada wayang dibuat di daun siwalan atau lontar pada 1223 M. Sesuai perkembangannya, pada 1244 M terpatnya pada pemindahan keraton Kerajaan Jenggala ke Pajajaran, wayang tersebut mulai digambar di atas kertas yang terbuat dari kayu dengan penambahan berbagai ornamen.
Pada masa Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Jaka Susuruh (1316 M) mulai lah dimasukkan ornamen tongkat kayu dan pemberian nama Wayang Beber. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya (1378 M) ia meminta Raden Sungging Prabangkara (anak ketujuh) meminta untuk meminta wayang kertas dengan purwa baru, yakni dengan pemberian warna serta penggambaran yang kentara antara raja dan punggawa.
Memasuki tahun 1518 M, pada masa kejayaan Kesultanan Demak, kembali dimodifikasi menjadi Wayang Kulit, hingga saat ini. Modifikasi tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan hukum fiqih, yaitu penggunaan karakter yang sama dengan bentuk asli.