Mendengar veteran, pasti yang ada di benak Sobat adalah tentara pejuang yang memperebutkan kemerdekaan. Namun jika kita perluas jangkauan perjuangan tersebut, rupanya ada seseorang yang berdedikasi penuh untuk Indonesia di bidang lainnya, sebut saja dunia film.
Ketika seluruh pahlawan pada era penjajahan mengangkat senjata, Usmar Ismail memilih untuk mengangkat kamera. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat pada 20 Maret 1921 ini merupakan sineas senior perfileman Indonesia. Melalui karya-karyanya yang fenomenal, Usmar Ismail bahkan dijuluki sebagai Bapak Film Nasional Indonesia.
Selain sineas, Usmar Ismail disebut ‘pahlawan’ karena dirinya sempat mendirikan Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini) pada 30 Maret 1950. “Darah dan Doa” adalah film pertama Usmar di bawah naungan Perfini. FYI, hari lahirnya Perfini pada akhirnya diperingati sebagai Hari Film Nasional.
Karya-karya Usmar Ismail adalah jembatan bagi gaya sinematik perfileman Indonesia saat ini. Ia merintis gaya sinematik yang identik, mengangkat ciri khas masyarakat Indonesia dan menjadi dasar bagi film-film legendaris lainnya di tahun setelah beliau.
Salah satu karya fenomenal Usmar Ismail adalah “Pedjuang” yang ditayangkan di Festival Film Internasional Moskwa ke-2. Pedjuang menjadi film pertama Indonesia yang tembus layar kaca internasional. Selain film tersebut, ada pula “Darah dan Doa”, “Enam Djam di Jogja”, dan “Dosa Tak Berampun”.
Mengalami Kegagalan yang Pahit
Selain ‘membidani’ Perfini, Usmar Ismail juga menjabat sebagai direktur yang kemudian melakukan kerja sama dengan salah satu perusahaan film Italia. Dari kerja sama tersebut, Perfini berkolaborasi dengan perusahaan film tersebut untuk membuat film Adventures in Bali. Drama pun dimulai, beberapa masalah perlahan muncul.
Sesuai perjanjian, Usmar seharusnya dicantumkan sebagai sutradara dalam film Adventures in Bali yang ditayangkan pula di Eropa. Namun saat dirinya ke Roma untuk menyelesaikan syuting Adventures in Bali, nama ia sama sekali nggak ada di film tersebut! Parah, sedih banget! Ditambah lagi sepulang dari Roma, Usmar rupanya tak kunjung mendapat salinan film “Adventures in Bali”. Bahkan, setelah diedarkan di Indonesia pun, film ini gagal mencuri perhatian massa.
Dari masalah tersebut, ia mengalami keterpurukan. Usmar kudu banting tulang menghidupi Perfini hingga membayar karyawan dengan melego peralatan studio.
Berjaya di era 1950-an lalu mengalami keterpurukan pada tahun 1960-an. Masalah yang dialami oleh Usmar pada tahun 1960-an hingga 1970-an tak membuat dirinya lupa dari tanggung jawab sebagai direktur Perfini. Selama masalah berkecamuk, ia tetap berusaha menggaji karyawannya, Sobat.
Sayangnya, perjuangan Usmar harus terhenti pada 2 Januari 1971. Dirinya dinyatakan meninggal pada usia 50 tahun akibat pendarahan di otaknya. Padahal, pada malam sebelumnya, Usmar masih sempat menyelesaikan proses pengisian suara film terakhirnya bertajuk “Ananda”.
Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional
Kisah Usmar Ismail memang cukup miris, namun perjuangannya untuk ‘angkat kamera’ bagi perfileman Indonesia patut diacungi jempol hingga ‘angkat topi’ untuknya. Tak sekadar apresiasi dari sinefil, pada tahun 2021 Usmar diberi gelar pahlawan nasional dari dunia perfilman Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.
Jika Sobat penasaran dengan film spektakuler dari Usmar Ismal, coba tonton beberapa judul berikut ini, deh, “Darah dan Doa” (1950), “Krisis” (1953), “Lewat Djam Malam” (1954), “Pedjuang” (1960), “Enam Djam di Djogja” (1956), “Tiga Dara “(1956), dan “Asmara Dara (1958)”. Semuanya apik dan memorable.