Di daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) ada sebuah tradisi perkelahian kuda yang unik. Tepatnya berada di wilayah Pulau Muna. Namanya adalah tradisi adu kuda atau masyarakat setempat menyebutnya dengan pogiraha adhara.
Bagi masyarakat Muna, tradisi ini merupakan simbol harga diri yakni situasi normal seekor kuda tidak akan bersifat agresif. Namun, kuda tersebut bakal berjuang sekuat tenaga membela suatu kelompok jika ada yang mengganggu.
Berdasarkan catatan para orangtua, tradisi ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Muda yang berdiri ratusan tahun silam. Saat itu, fungsi dari tradisi adu kuda adalah hiburan rakyat yang selalu ada di berbagai perhelatan. Kalau di zaman sekarang, tradisi adu kuda muncul ketika menyambut tamu penting serta acara pariwisata seperti Festival Napabale.
Proses Berlangsungnya Tradisi Adu Kuda
Biasanya tradisi ini diadakan di lapangan terbuka, dan selama jalannya tradisi bakal dipandu oleh paring yang berdiri di antara dua kuda jantan saling dihadapkan. Pawang itu mengenakan destar serta sarung yang dililitkan di pinggang.
Gelaran adu kuda bakal dimulai ketika seekor kuda yang diadi meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke udara setinggi-tingginya. Setelah itu, lawan akan membalas dengan hal serupa seolah-olah sebagai salam pembukaan.
Setelah kedua kuda tersebut saling meringkik, barulah mereka bergelut. Keduanya akan saling menggigit dan menendang. Di sela-sela perkelahian, tak jarang aksi seruduk muncul dari kuda untuk mengalahkan lawan. Akan tetapi, bagi penyelenggara acara, aksi tersebut adalah sinyal berbahaya. Oleh sebab itu, pawang nantinya akan datang dan melerai, deh.
Meskipun dilerai, bukan berarti pertandingan usai, ya. Namun bisa langsung dilanjutkan dengan aman dan sesuai protokol tradisi adu kuda. Uniknya, dalam pertandingan ini tidak mengenal menang atau kalah sebab hanya hiburan rakyat semata.
Keberadaan Tradisi Adu Kuda mulai Langka
Kini populasi kuda di daerah Muna terus menurun. Saat ini kuda tersisa hanya ratusan ekor saja. Dilansir Good News From Indonesia, salah satu penyebab merosotnya populasi kuda di Muna adalah minimnya minat warga untuk memelihara kuda, Sob.
Menurunnya minat warga untuk pelihara mamalia tersebut menjadikan perhelatan ini bisa dihitung jari. Tradisi kuda bahkan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah setempat, khususnya di Desa Latugho, Kecamatan Lawa. Padahal, tradisi ini kerap dilaksanakan di setiap kecamatan, loh.
FYI, Sobat SJ yang sudah pernah mampir ke Sulawesi Tenggara, apakah kalian pernah melihat tradisi ini? Semoga tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang ini tetap lestari, ya!