Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law oleh pemerintah dinilai bermasalah. Penyusunannya secara terburu-buru telah mengkhawatirkan banyak pihak, khususnya bagi para tenaga medis. Maka lima organisasi profesi kesehatan tolak RUU Kesehatan. Mereka pun akan adakan aksi damai menyuarakan tuntutan stop pembahasan regulasi tersebut.
Kelima badan profesi kesehatan itu ialah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Seruan aksi damai itu disampaikan perwakilan IDI yang mengajak seluruh tenaga medis di Indonesia untuk mendorong penghentian pembahasan RUU Kesehatan.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Khumaidi mengungkapkan, sejauh ini masukan dari organisasi profesi medis tak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah. Maka dengan menggelar aksi damai, mereka berharap suara dari pekerja kesehatan dapat lebih ditampung sebagai pokok bahasan dalam RUU tersebut. Termasuk sebagai wujud pandangan mereka tolak RUU Kesehatan.
“Kami juga ingin mengingatkan pemerintah bahwa masih ada banyak permasalahan kesehatan di lapangan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Meningkatkan akses ke layanan kesehatan, meningkatkan kualitas layanan yang diberikan, dan memanfaatkan teknologi adalah beberapa solusi yang dapat membantu meningkatkan layanan kesehatan di Indonesia,” tutur Adib, dalam rilis yang diterima Sampaijauh.com, Rabu (3/5).

Adib menambahkan, pemerintah disarankan perlu memperluas akses layanan kesehatan bagi komunitas warga yang kurang terlayani. Selama ini, menurutnya, akses ke fasilitas kesehatan bagi penduduk pedalaman masih minim, sedangkan para tenaga medis kesulitan menjangkau ke wilayah penduduk karena keterbatasan infrastruktur dan sarana transportasi.
“Hal seperti inilah yang perlu lebih diperhatikan oleh pemerintah dan para wakil rakyat di parlemen daripada terus-menerus membuat undang-undang baru,” ujar Adib.
Akses terhadap perawatan kesehatan hingga kini masih menjadi tantangan utama dalam sistem kesehatan Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, hanya 38 persen penduduk Indonesia memiliki akses terhadap layanan kesehatan dasar.
Selebihnya, kurangnya infrastruktur dan sumber daya membuat sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan tak terjamah layanan medis memadai. Mengatasi masalah ini memerlukan perluasan fasilitas dan layanan kesehatan di daerah-daerah, selain peningkatan anggaran kesehatan.
“Banyak tenaga kesehatan yang bersedia bertugas di tempat-tempat terpencil, namun tidak dapat bekerja secara maksimal karena minimnya sarana, baik fasilitas kesehatan maupun akses menuju faskes. Belum lagi masih tidak ada jaminan perlindungan dan keselamatan para tenaga kesehatan saat bertugas dari pemerintah setempat dan pusat,” kata Sekjen IBI Ade Jubaedah.
Layanan Kesehatan Tetap Berjalan
Adib menjamin, aksi damai tolak RUU Kesehatan yang akan digelar Senin mendatang (8/5) takkan mengganggu kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat. Dia menekankan, aksi damai dan protes para petugas kesehatan merupakan upaya mengkritisi potensi pelanggaran hak asasi manusia dari rencana pengesahan RUU Kesehatan.

Sebagaimana dijelaskan Harif Fadillah selaku Ketua PPNI, RUU Kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat, tenaga kesehatan, dan masyarakat umum. Selain itu, pokok ketentuan draf hukum itu dikhawatirkan bisa mendegradasi profesi nakes dalam sistem kesehatan nasional.
“Kami juga mengimbau kepada seluruh anggota organisasi profesi (kesehatan) untuk tetap solid memperjuangkan kepentingan profesi dan masyarakat,” kata Harif.
Lima organisasi profesi tersebut pun merasa senasib dan sependapat bahwa pembahasan RUU Kesehatan terlalu banyak memuat ketentuan yang makin menekan dan menyulitkan para tenaga medis. Alih-alih memperkuat perlindungan bagi nakes dalam negeri, pemerintah dinilai malah lebih mementingkan tenaga kesehatan asing.
Tak hanya itu, PDGI juga mengkritik pengecualian adaptasi terhadap dokter lulusan luar negeri dan pendidikan dokter spesialis secara hospital based. Aturan terbaru dalam RUU Kesehatan menyebutkan syarat adaptasi kedua macam dokter tersebut hanya perlu dilakukan di rumah sakit yang terakreditasi. Hal ini bertentangan dengan penerapan yang telah berlangsung sejak lama, sehingga beleid itu keduanya dikhawatirkan berakibat lahirnya tenaga kesehatan kurang mumpuni.
“Selama ini pendidikan dokter spesialis dilakukan di RS dengan akreditasi tertinggi. Bila hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya profesi tapi yang lebih dirugikan adalah kesehatan masyarakat yang dilayani,” kata Ketua Biro Hukum dan Kerjasama PDGI Paulus Januar S.
Kritik Lain atas RUU Kesehatan
Sementara itu, sampai kini masih cukup banyak nakes dengan ikatan kerja yang tidak jelas sehingga tidak memiliki jaminan dalam menjalankan profesinya. Apa yang selama ini didengungkan pemerintah menyoal kebutuhan dan perlindungan nakes, belum pernah benar-benar diimplementasi.
Tindak kekerasan terhadap dokter internship di Lampung belum lama ini, misalnya. Begitu pun peristiwa yang dialami Prof dr Zaenal Mutaqqin, dokter spesialis bedah saraf dengan keahlian langka. Karena sikap kritisnya, dia malah dihentikan kontrak kerjanya di RS Karyadi Semarang.
Inilah yang akhirnya mendorong organisasi profesi medis secara mandiri selalu berada di garis depan melindungi anggotanya, termasuk dalam rencana aksi damai Senin mendatang. Inisiatif aksi ini pun didasari niat memperkuat daya tawar pekerja medis. Pasalnya, terkesan muncul upaya mengadu domba di antara kelompok masyarakat pelaku profesi medis yang dapat merugikan masa depan kesehatan nasional.
Kelima organisasi profesi medis tersebut juga menyoroti pentingnya kolaborasi lebih baik antarberbagai pemangku kepentingan di sektor kesehatan, yaitu lembaga pemerintah, organisasi profesi, dan kelompok masyarakat sipil. Dengan bekerja sama, semua pihak dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam layanan kesehatan di Indonesia.
Setuju, Sob?