Indonesia memang terkenal dengan negara yang memiliki hutan terbesar. Namun ada salah satu hutan di Papua yang sangat unik. Hutan tersebut bernama Hutan Kampung Enggros. Dikatakan unik karena yang boleh mengunjungi hutan tersebut hanyalah kaum perempuan saja.
Hutan yang lebih mendominasi oleh tanaman bakau ini memiliki luas sekitar 8 hektare. Letaknya di Teluk Youtefa, sebelah timur Abepura di daerah pesisir Jayapura. Kabarnya hutan ini sangat sakral dan senantiasa dijaga oleh masyarakat lokal.
Biasanya masyarakat kampung Enggros menyebut kegiatan di dalam hutan tersebut dengan Tonotwiyat. Tonot yang berarti hutan bakau, sedangkan Wiyat merupakan istilah ajakan untuk datang. Jadi para perempuan Kampung Enggros yang beranggotakan 3-5 orang akan datang ke Tonotwiyat untuk berburu bia atau biasa disebut dengan kerang.
Selama kegiatan Tonotwiyat, mereka akan menjadikan tempat tersebut sebagai zona bercengkrama dengan perempuan-perempuan Enggros.
Untuk menempuh hutan tersebut para perempuan ini harus menggunakan sejenis perahu kayu, atau masyarakat di sana biasa menyebutnya dengan kole-kole. Menariknya, ketika tiba di hutan tersebut para perempuan akan langsung memburu kerang tanpa menggunakan pakaian dan alas kaki.
Tenang, hutan ini sangat aman bagi para perempuan karena kaum laki-laki tidak boleh memasuki kawasan hutan bakau tersebut. Jika ada yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi berupa manik-manik yang dianggap berharga.
Biasanya manik-manik ini sering digunakan sebagai mahar atau mas kawin dari pihak laki-laki ketika melakukan proses pernikahan. Manik-manik juga terbagi menjadi tiga warna, antara lain warna hijau, biru, dan putih. Menurut masyarakat setempat manik-manik berwarna birulah yang termahal.
Bagi masyarakat kampung Enggros kehadiran ini bagaikan sebuah penanda di struktur sosial dalam hal pemberian tugas antara laki-laki dan perempuan. Di mana laki-laki bertugas untuk mencari ikan di laut, sedangkan perempuan akan mencari kerang di hutan bakau.
Tentu prinsip ini sudah dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Dalam hukum ada masyarakat Enggros, perempuan adalah makhluk istimewa sehingga dilarang diperlakukan semena-mena.
Tempat teraman bagi perempuan ini sudah terjaga selama tujuh generasi. Di sisi lain, hutan ini masih kental dengan tradisi mistiknya. Konon, apapun yang terjadi di hutan ini dilarang untuk menceritakan kepada siapapun kecuali orang tersebut langsung datang ke hutan.
Namun, seiring semakin berkembangnya zaman, tradisi yang biasanya dilakukan oleh perempuan Enggros ini perlahan mulai terlupakan. Semakin sedikit pula perempuan muda di Enggros yang peduli dengan nilai-nilai leluhur hutan bakau.
Kini, karena nilai-nilai semakin terlupakan, maka mereka tinggal mengandalkan tradisi tersebut pada perempuan lanjut usia. Tak hanya itu, hutan yang terjaga kelestariannya selama tujuh generasi kini telah rusak karena adanya sampah-sampah dari wilayah Abepura, Hamadi, dan Entrop yang mengalir ke hutan tersebut. Sebagian besar sampah-sampah yang bermuara ke hutan bakau ini berasal dari sampah rumah tangga.