Kebanyakan orang jika ditanya mengenai alat musik tradisional akan menjawab angklung, kecapi, gendang, suling, gamelan, dan lain sebagainya. Namun tahukah bahwa Indonesia memiliki segudang alat musik tradisional?
Alat musik tradisional di Indonesia sangatlah beragam. Dikatakan demikian karena tak jarang juga banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui apa saja jenis-jenis alat musik dari setiap daerah seperti seperti Tehyan.
Bagi warga Jakarta mungkin sudah tidak asing lagi dengan alat musik tradisional tehyan. Tehyan merupakan alat musik tradisional Betawi yang memiliki unsur Tionghoa. Alat musik ini tergabung dengan alat musik tanjidor. Biasanya alat musik ini kerap hadir pada acara kebudayaan Betawi.
Tehyan terbuat dari kayu jadi kayu jati, sedangkan tabung untuk getaran melodinya terbuat dari batok kelapa yang dilengkapi dengan senar.
Ada dua jenis alat musik yang sama dan hampir mirip dengan tehyan, yaitu sukong dan kong ahyan. Sukong hanya memiliki nada dasar G atau bass, sedangkan kong ahyan hanya memiliki nada dasar D atau melodi.
Cara memainkannya hampir mirip dengan biola, yakni di gesek. Pada bagian dawai tehyan terdapat dua senar yang dimainkan dengan cara digesek. Akan lebih baik jika ketika memainkan alat musik ini disertai dengan penjiwaan yang mendalam atau perasaan. Hal ini disebabkan agar nada yang dihasilkan dari tehyan semakin merdu dan indah.
Pada abad ke-18 tehyan sering dimainkan dalam acara pernikahan dan pemakaman. Namun, sekarang tehyan lebih sering digunakan pada acara lenong Betawi, ondel-ondel hingga kesenian gambang kromong.
Seniman Terakhir Tehyan
Di Tangerang terdapat salah satu seniman terakhir gambang kromong legendaris dan juga pembuat alat musik tehyan yang bernama Oin Sin Yan. Pria yang akrab disapa Goyong ini tinggal di Kelurahan Mekarsari, Neglasari, Tangerang.
Ia mendedikasikan seluruh hidupnya dengan menggeluti alat musik tradisional gambang kromong dan tehyan.
Di rumah ia tinggal bersama istri, 8 anak, 3 cucu, dan 2 menantu. Terlihat di dalam rumahnya terdapat banyaknya timbungan karung-karung botol dan plastik, serta tak upa juga ada beberapa alat musik tehyan tergantung pada dinding teras rumahnya.
Ia pun bercerita jika dahulu kedua orangtuanya merupakan seniman gambang kromong yang terkenal pada tahun 1960-an. Karena serting melihat ayah ibunya memainkan alat musik khas Betawi itu, tak butuh waktu lama bagi Goyong untuk mengusiasai tehyan dan berbagai alat musik lainya.
Pria yang dahulunya pemalu ini baru mempelajari kesenian gambang kromong dan tehyan saat sang ayah, Oen Hoek, meninggal dunia. Ia merasa perlu mempertahankan warisan keluarganya sekaligus melestarikan budaya.
Dahulu ia sering ke berbagai daerah seperti Bangka, Ambon, Aceh, bahkan hingga ke Australia untuk memainkan alat musik tehyan.
Sayangnya saat ini sudah sangat sekali pagelaran alat musik seperti tehyan. Meski demikian Goyong mengaku tak tergoda untuk mencari uang dengan cara mengamen dengan menggunakan tehyan. Baginya, tehyan merupakan alat musik peninggalan leluhur yang mempunyai nilai tinggi dan sudah menjadi keharusan untuk menjaga nilai-nilai tersebut.
Hingga ini Goyong masih setia menggeluti gambang kromong dan tehyan. Bahkan ia juga menjadi satu-satunya pengrajin tehyan yang tersisa dan aktif di Tangerang.
Namun, kini akibat pandemi covid sangat berdampak bagi penghasilannya sebagai pengrajin tehyan. Goyong yang biasanya menjual alat musik tehyan dengan harga seharga Rp200-Rp700 ribu rupiah harus rela kehilangan pesanannya.