Jika kamu berkesempatan untuk melancong ke Cirebon, Jawa Barat, jangan lupa untuk menyaksikan tarian tradisional asal daerah tersebut; tari Sintren. Bukan sekadar tarian biasa, Sintren merupakan kesenian yang sarat akan unsur mistis, Sob.
Dalam pementasannya, tarian ini dibawakan oleh perempuan yang didampingi oleh satu orang dalang. Selain penari utama, bakal ada beberapa perempuan yang bertugas sebagai penari pengiring.
Dikutip Detik, Kepala Unit Cagar Budaya Keraton Kacirebonan, Elang Iyan Ariffudin menjelaskan bahwa tari Sintren merupakan kesenian rakyat yang muncul di beberapa daerah pesisir pantai, salah satunya Cirebon.
“Kesenian tarian Sintren ini awalnya dimainkan oleh sekelompok anak-anak muda saat mereka sedang menunggu ayahnya pulang melaut,” terang Elang Iyan, dilansir Detik, Kamis (5/1).
Prosesi Sintren
Dalam proses pementasan, seorang perempuan yang jadi penari sintren bakal diikat lebih dahulu dengan tali lalu dimasukkan ke dalam kurungan yang ditutup kain. Nah, beberapa saat kemudian penari akan keluar kurungan dengan kondisi tubuh tanpa ikatan tali. Saat keluar dari kurungan tersebutlah, penampilan penari berubah mengenakan pakaian khusus dan kacamata hitam. Disinyalir, mereka sudah kerasukan, Sob.
Mengikuti alunan musik yang mengiringi, penari tersebut bakal melenggak-lenggok. Tapi setiap ada penonton yang melemparkan uang dan kena tubuh si penari, maka si sintren akan terjatuh. Saat itulah, tugas dalang sebagai pendamping muncul untuk mendirikan tubuh si penari.
Sejarah Tarian Sintren
Kalau dari segi bahasa, kesenian ini terdiri dari dua kata dalam bahasa Jawa yakni ‘si’ dan ‘tren’. Kata ‘si’ memiliki arti panggilan untuk dia, sedangkan ‘tren’ berasal dari kata tri alias putri. Kalau digabung maknanya adalah si putri yang konteksnya dalam seni adalah si penari. Selain itu, Sintren diduga berasal dari kata ‘sindir’ dan ‘tetaren’. Makna dari dua kata ini adalah menyindir suatu pihak melalui tari-tarian, Sob.
Ngobrolin sejarah, kesenian ini erat kaitannya dengan sosok Seca Branti yakni abdi Pangeran Diponegoro yang berhasil melarikan diri ke Indramayu. Kala itu Seca hobi berkumpul dengan pemuda setempat untuk membaca syair perjuangan.
Nah, lambat laun aktivitas tersebut diketahui oleh pihak Belanda dan kemudian dilarang. Sebab, Belanda lebih senang dengan kegiatan pemuda yang di dalamnya ada acara minum alkohol serta perempuan penghibur. Gegara kesukaan Belanda tersebut, akhirnya Seca menghadirkan perempuan menari di tengah aktivitas membaca syair, deh.
Sejak saat itu, kesenian tersebut diperbolehkan oleh Belanda dan makin hits di masyarakat hingga berkembang menjadi kesenian seperti saat ini, Sob.
Sejarah Sintren menurut Cagar Budaya Keraton Kacirebonan
Elang Iyan menjelaskan, dahulunya tarian ini dipentaskan pada waktu-waktu tertentu tepatnya pada malam bulan purnama. Pasalnya saat itu masih belum ada teknologi atau pencahayaan listrik seperti saat ini.
Namun seiring berjalannya waktu, kesenian ini bisa dimainkan kapan saja, Sob. Terutama saat festival kebudayaan guna menghibur wisatawan serta memeriahkan acara.
Elang juga menjelaskan, kesenian ini disinyalir sudah ada sebelum ajaran Islam masuk tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan adanya syair-syair dalam tarian yang menyebut dewa-dewa. Setelah Islam masuk ke Jawa, khususnya era Walisongo, tarian tersebut kemudian dijadikan media dakwah oleh para wali.
“Setelah Islam masuk, khususnya era Walisongo, syair-syair dalam kesenian tari Sintren kemudian diisi dengan ajaran Islam, seperti shalawat,” terangnya.
Walau tari Sintren dikenal dengan unsur mistisnya, rupanya kesenian ini sarat akan sejarah, Sob. Ada baiknya kita sebagai anak muda turut untuk melestarikannya, ya!