Peluang bisa hadir di mana saja, salah satunya dari kubangan bekas tambang bauksit yang rupanya bisa ‘disulap’ menjadi air untuk budidaya ikan tawar. Hal inilah yang dilakukan oleh Sujiyanto, pria asal Kota Batam, Kepulauan Riau yang sukses menciptakan mesin alat penyaring sederhana untuk air bekas lahan tambang bauksit.
Karya Sujiyanto ini berupa pipa tempat air kotor masuk, tiga tabung penyaring, serta tempat air keluar. Pada tabung pertama berisi pasir yang mampu melakukan filter partikel asing. Tabung selanjutnya mengandung karbon aktif dengan pori-pori sehingga dapat menyerap kontaminan dalam air.
Lalu di tabung ketiga terdapat Maxorb berdaya ikat tinggi, gunanya untuk menyaring beragam zat, Sob. Setelah melalui tiga tabung tersebut, air kubangan bekas tambang bauksit yang awalnya mengandung zat besi serta magnesium tersebut berubah jadi air tawar untuk budidaya ikan. Ajaib nggak, tuh?
Berkat inovasi cemerlangnya tersebut, pria kelahiran Lampung ini meraih juara II Teknologi Tepat Guna Unggulan dalam Gelar TTGN XXIII 2022 di Cirebon. FYI, TTG adalah teknologi yang sesuai kebutuhan masyarakat, sederhana, harga terjangkau, perawatan mudah, dan nggak merusak lingkungan. Nah, alat penyaring milik pria lulusan SMK Mutiara 2 Natar ini salah satunya, Sob. Teknologi ini lahir karena minimnya pasokan air tawar dan maraknya lahan bekas tambang bauksit di Kota Batam.
Proses Uji Coba dan Penerapan
Karena banyaknya kubangan bekas tambang di Kota Batam, Sujiyanto pun tergerak untuk memanfaatkan lokasi tersebut untuk budidaya ikan air tawar. Ia bersama rekannya kemudian merancang alat penyaring sederhana tersebut.
Uji coba berlangsung selama 6 bulan untuk pemilihan bahan filter si alat penyaring, Sob. Dalam prosesnya, pernah satu kolamnya yang berisi bibit 4.000 ekor ikan lele senilah Rp1,2 juta, dan semua itu mati! “Saya nggak patah arang. Saya bikin dan pelajari lagi. Saya cari guru sampai ke Jakarta dan Kisaran (Sumatra Utara),” terangnya.
Kemudian pada awal 2021, Sujiyanto akhirnya menemukan formula penyaring air dengan harga sekitar Rp600 ribu per unit. Berbekal teknologi tersebut, ia kemudian mengubah kubangan bekas tambang bauksit jadi air budidaya ikan tawar dengan sistem bioflok. Dirinya mengklaim, cara tersebut dapat menekan tingkat kematian ikan nilai hingga di bawah 1 persen.
“Awalnya saya hanya punya 6 kolam ikan. Sekarang jadi 11 kolam. Nanti, mau bikin sampai 20 kolam,” selorohnya. Ia kemudian menambahkan, dengan modal Rp4,1 juta, hasil panen bibit 350 ikan nila selama 3 tiga bulan mencapai 150 kg. Penambak bisa cuan lebih dari Rp5 juta, Sob.
Selain bermanfaat bagi keperluan budidaya ikan air tawar, inovasi Sujiyanto ini juga sudah memenuhi ketentuan berdasarkan Laboratorium Balai Perikanan Budidaya Laut Batam KKP pada 29 Agustus lalu. Tercatat, kandungan nitrit dalam inovasinya ini hanya 0,002 miligram per liter, sedangkan kadar maksimumnya adalah 3 mg per liter.
Tak hanya itu, hasil uji ikan nila budidayanya ini juga tidak mengandung parasit, Sob. Tak cukup dimanfaatkan untuk budidaya ikan tawar, air filterisasi yang sudah diendapkan bahkan bisa digunakan sebagai bahan pupuk cair.
Teknologi buatan Sujiyanto ini pun sudah diimplementasikan di kehidupan sehari-hari, loh, Sob. Sedikitnya, 13 warga dan satu perusahaan menerapkan sistem ini dengan total 60 kolam. Ibu-ibu setempat di Kota Batam rupanya juga mengolah hasil budidaya ikan air tawar hasil eks kubangan tambang jadi abon lele.
“Bahkan, cita-cita saya, Batam nanti jadi keran ekspor ikan air tawar. Kata mentor saya, kebutuhan ikan di Turki saja bisa 6 ton per minggu,” tutupnya.
Dari Sujiyanto kita bisa belajar, Sob, bahwa sesuatu yang selama ini dipandang miring bukan berarti akan menimbulkan perkara. Melainkan, bila kita melihatnya sebagai peluang maka inovasi sekecil dan sesederhana apapun bisa berdampak baik bagi sekitar. Terinspirasi untuk berinovasi seperti Sujiyanto, Sob?