Pada umumnya, pendidikan formal di sebuah institusi pendidikan selalu mengajarkan hal seragam dan menghasilkan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sebuah sektor industri. Selama ini, negara menggunakan sistem pendidikan terpusat dengan standar tersebut yang rupanya kurang berpihak pada kekhususan budaya masyarakat adat.
Oleh sebab itu, Butet Manurung, pendiri dari Sokola Rimba atau yang kini dikenal Sokola Institute, mencoba menghadirkan pendidikan alternatif bagi orang-orang rimba di Indonesia dengan metode pendidikan kontekstual.
Sokola Institute melaksanakan program belajar-mengajar dengan tidak berpedoman pada kurikulum pendidikan formal. Melainkan dengan melakukan pendekatan terhadap masyarakat adat terlebih dahulu, mengenali budaya dan adat istiadat di sana, kemudian menyusun pembelajaran dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada atau yang biasa dikenal dengan pendidikan kontekstual.
Dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, Sokola Institute melibatkan masyarakat adat secara langsung. Baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Pola pikir yang berkembang di publik mengenai masyarakat adat yang tidak mengerti apa-apa dan hidup tertinggal dipatahkan. Hal ini dikarenakan kenyataannya masyarakat adat berhasil hidup bersama dengan alam, pengetahuan mereka sangat beragam, dan implementatif dalam kehidupan.
“Setelah mampu membaca dan menulis, apakah kami bisa mengusir pembalak itu?”, demikian pertanyaan dari murid-murid Sokola Institute kepada Butet Manurung di tahun 2001 saat mengajar di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Pengalaman inilah yang membuat Butet mengambil kesimpulan bahwa ilmu baca, tulis, dan berhitung saja tidak cukup bagi orang rimba untuk menjaga hutan adat dan kelangsungan hidupnya. “Mereka hidup tergantung pada hutan, maka ancaman pada kelestarian hutan adalah ancaman pula bagi kelangsungan hidup mereka,” imbuh Butet.
Menyadari hal ini, pada akhirnya Butet akhirnya mengikrarkan Sokola Rimba menjadi Sokola Institute di tahun 2003. Bersama empat rekannya, mereka berfokus menjadikan Sokola Institute sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat adat. Sokola Institute kemudian mengembangkan kurikulum yang tujuannya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalan.
“Kami memulainya di rimba dengan banyak coba-coba dan melakukan kesalahan. Justru dari murid-murid dan komunitaslah kami berguru hingga akhirnya menyempurnakan metode dan pendekatan yang kami gunakan,” terang Butet.
Di dalam buku Melawan Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola disebutkan bahwa metode Sokola menekankan pada pentingnya live in atau menetap bersama komunitas dalam jangka waktu yang lama, bahkan bisa bertahun-tahun, menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat dan sebisa mungkin mengajar dalam bahasa lokal.
“Interaksi intestif di lapangan dan tempaan dari komunitas serta murid-murid kami, khususya di Sokola Rimba di Jambi pada akhirnya membantu kami merumuskan metode dan pendekatan pendidikan yang ramah budaya dan kontekstual,” tutur Butet.
Selain itu, di dalam buku tersebut juga dituliskan pengalaman lapangan dengan struktur kombinasi antara gaya story telling dan berurutan sesuai dengan metodologi penyelenggaraan program pendidikan Sokola mulai dari melakukan kajian awal hingga pembentukan kader dan pengorganisasian.
“Buku Melawan Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola ini juga menjelaskan mengenai landasan filosofis serta prinsip-prinsip kerja kerelawanan Sokola. Kami berharap pengalaman-pengalaman di dalamnya dapat menjadi panduan untuk guru, relawan mengajar, atau siapa saja yang bekerja di komunitas,” tutup Butet.