Pemerintah Indonesia berencana membatasi izin investasi kepada smelter nikel berteknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) atau smelter pirometalurgi. Alasan pembatasan smelter nikel RKEF karena komoditas hasil olahan bijih nikel kadar tinggi berupa feronikel, nikel pig iron (NPI), dan nikel matte domestik sudah berlimpah sehingga harganya makin tertekan.
Diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, laju produksi NPI membutuhkan konsumsi bijih nikel lebih banyak untuk memperoleh bijih nikel saprolit berkadar tinggi 1,5-3%. Maka, saat ini serapan bijih nikel untuk memproduksi NPI dan feronikel mencapai 100 hingga 160 juta ton per tahun, dan bisa membengkak jadi 450 juta per tahun jika pembangunan smelter RKEF masih diteruskan.
Sementara itu, cadangan bijih nikel di Indonesia hanya 5,2 miliar ton. Dengan smelter berteknologi RKEF dan tanpa eksplorasi baru, maka pasokan bijih nikel dalam negerti terancam habis. NPI dan feronikel saat ini digunakan sebagai bahan baku komoditas besi dan baja anti karat.
Maka selain pembatasan smelter RKEF dan investasi untuk pembangunannya, Indonesia juga perlu meningkatkan eksplorasi untuk cadangan nikel, khususnya bijih nikel saprolit. Ini dimaksudkan menjaga pasokan bijih nikel untuk suplai bahan baku produk lanjutan yang lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai.
Smelter HPAL Diperbanyak
Sebagai pengganti smelter RKEF, pemerintah menggencarkan pembangunan smelter hidrometalurgi high pressure acid leach leaching (HPAL) yang mampu mengolah bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% menjadi menjadi campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt mix hydroxide precipitate (MHP) maupun mix sulphide precipitate (MSP).
MHP dan MSP yang dihasilkan di smelter HPAL menjadi bahan baku utama produksi nikel sulfat atau kobalt sulfat. Bila keduanya diolah lagi, bisa menjadi bahan baku komponen baterai listrik.
“Diperlukan pembangunan smelter HPAL yang menghasilkan produk untuk bahan baku baterai listrik,” ujar Irwandy.
Dengan moratorium untuk smelter RKEF, alokasi pasokan bijih nikel untuk smelter HPAL yang memproduksi produk lanjutan lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai bisa lebih meningkat. Hal ini penting dilakukan demi menutup potensi impor bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
Disambut Baik Pengusaha
Terkait rencana pembatasan smelter RKEF, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyambut baik dan menilai positif.
“Sebaiknya saat ini sudah dilakukan moratorium, artinya izin baru untuk smelter pirometalurgi menurut pendapat saya tidak perlu lagi ada izin,” kata Alexander Barus, Ketua FINI, pada Selasa (9/5/2023) di Jakarta.
Direktur Utama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus juga mengatakan bahwa kini para pelaku usaha hulu tambang nikel kewalahan untuk memenuhi permintaan pasokan nikel saprolite ke perusahaan smelter pengolahan bijih nikel kadar tinggi tersebut. Meski saat ini produksi bijih nikel kadar tinggi menyentuh 130 juta metrik ton per tahun, jumlah tersebut tak sebanding dengan kemampuan dan kapasitas pengolahan seluruh smelter dalam negeri.
“Dengan 130 juta ton penambang itu sudah kerja keras. Artinya apa? Bisa ada smelter yang tidak dapat suplai dan terjadi persaingan antarsuplai,” ujarnya.
Alexander melanjutkan, pihaknya lebih mendukung agar pemerintah memperbanyak smelter hidrometalurgi High Pressure Acid Leach Leaching (HPAL) yang bisa menghasilkan produk yang lebih hilir, salah satunya komponen baterai.
“Kalau untuk HPAL sebagai kompenen baterai, oke. Kami dorong karena Indonesia punya banyak nikel kadar rendah limonit. Tapi kalau untuk pirometalurgi itu sudah stoplah,” tandas Alex.
Salah satu faktor lain yang musti diperhitungkan pemerintah adalah smelter pirometalurgi yang mengolah mineral menggunakan suhu tinggi atau panas dari pembakaran batu bara kokas tidak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk memakai energi bersih dalam sektor industri Indonesia.
Kini pembahasan moratorium pengadaan smelter RKEF masih dikaji secara khusus di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Belum ada waktu pasti kapan pemerintah akan mengeluarkan moratorium pemberhentian smelter RKEF.