Mengingat suplai bijih nikel yang semakin berkurang, Kementerian ESDM mulai berencana untuk melakukan pembatasan pembangunan pabrik pemurnian mineral atau smelter nikel kelas II.
Menurutnya, hal ini dilakukan demi keseimbangan antara pasokan kebutuhan bijih nikel yang diperlukan agar Indonesia tak berakhir menjadi pengimpor bijih nikel di masa mendatang.
“Kementerian ESDM sudah ada rencana untuk melakukan pembatasan. Dari Kemenkomarves juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi izin pembangunan smelter jenis untuk proses pirometalurgi untuk kelas II,” tutur Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif.
Dalam kesempatan ini, Irwandy menerangkan pemerintah akan memeriksa kebijakan tersebut secara menyeluruh, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik nikel dengan kadar rendah (limonite) maupun nikel kadar tinggi (saprolite).
“Saat ini, nikel yang mengalami proses pirometalurgi ke arah stainless steel ada 44 smelter dan yang menggunakan proses hidrometalurgi ke arah baterai itu ada 3 smelter. Konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi dengan saprolite adalah 210 juta ton per tahun dan limonate 23,5 juta ton per tahun,” lanjut Irwandy.
Untuk saat ini sebanyak 25 smelter sedang dalam tahap konstruksi yang membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Kemudian untuk arah proses baterai hidrometalurgi ada 6 smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan biji 34 juta ton per tahun.
“Total smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang baru itu ada 116 smelter, terdiri dari 97 smelter pirometalurgi dan 19 smelter ke arah hidrometalurgi,” tambah Irwandy.
Oleh karena itu, Dewan Penasihat Asosiasi Pronetindo, Arif S. Tiammar mendukung langkah dari Kementerian ESDM yang bakal memoratorium pembangunan smelter untuk nikel kelas II. Langkah tersebut dilakukan guna membatasi produksi yang berlebihan.
“Sejujurnya saya sendiri sangat mendukung dengan upaya untuk membatasi pembangunan feronikel atau pembangunan proyek yang berbasiskan ferometalurgi yang mengonsumsi bijih nikel saprolite menjadi FeNi ataupun NPI ataupun mate. Sekalipun kita memiliki cadangan yang sangat besar di sisi hidrometalurgi yang bersumberkan dari limonite atau nikel kadar rendah,” ujar Arif.
Selain pernyataan di atas, Arif juga menerangkan bahwa ada beberapa alasan mengapa menyetujui kebijakan moratorium ini. Pertama, membatasi kapasitas produksi yang dinilai berlebihan dan memposisikan Indonesia sebagai produsen NPI terbesar di dunia.
“Kapasitas produksi saat ini sudah luar biasa besar. Bahkan jumlahnya berdasarkan data tahun 2022 sebesar 9 juta ton NPI (nikel pig iron) dengan kandungan sebesar 1,1 juta ton per tahun,” tutur Arif.
“Akhirnya menempatkan Indonesia sebagai produsen BPI terbesar di dunia. Pembatasan produksi ini menjadi alasan mengapa yang saya setuju dengan moratorium atau pembatasan,” lanjutnya.
Alasan selanjutnya adalah ketahanan cadangan yang dimiliki, dan terakhir karena supply demand (permintaan persediaan) akan berpengaruh pada harga pasar NPI dunia.
“Saya sendiri pelaku. Harga BP atau FeNi sendiri sekarang ini sangat rendah dibandingkan dua tahun depan. Karena jumlah NPI yang ada luar biasa berlimpah sehingga menyebabkan harga NPI dari NPI itu turun. Itu yang menyebabkan kami sangat setuju dengan moratorium ini,” tutup Arif.