Seriwang Sangihe: Burung Endemik Kepulauan Sangihe yang Terancam Punah

Diperkirakan tinggal 150 ekor.

Burung endemik Seriwang Sangihe atauManu’ Niu./ Sumber Foto: Fachry Nur Mallo

Burung endemik Seriwang Sangihe atauManu’ Niu./ Sumber Foto: Fachry Nur Mallo

Beberapa waktu belakangan ini, salah satu daerah di Sulawesi Utara bernama Sangihe banyak dibicarakan di dunia maya. Tapi, tahukah Anda, jika daerah kabupaten yang memiliki luas wilayah 736,98km² (2020) memiliki burung endemik yang cukup langka.

Burung endemik tersebut bernama Seriwang Sangihe yang pernah tercatat punah selama seabad. Mengutip situs resmi Burung.org, burung yang memiliki ukuran kecil dengan panjang 18 cm ini biasa hidup di bibir Samudera Pasifik perbatasan antara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao, Filipina.

Selain itu, burung Seriwang Sangihe memiliki ciri khas warna yang didominasi warna biru dengan dada berwarna putih. Saat usia muda, burung ini biasanya identik dengan ekor pendek abu-abu.

Bagi masyarakat lokal sendiri, burung ini disebut dengan nama Manu’ Niu, yang biasa berterbangan di hutan Sangihe dengan ketinggian 450-750 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Sayangnya, keberadaan burung Seriwang Sangihe ini tergolong dalam status krisis, kaena daerah sebaran sempit dan populasinya sangat kecil. Bahkan diperkirakan kini tinggal 150 ekor saja.

Hal ini diakibatkan oleh rencana pertambangan emas di Sangihe. Di mana eksploitasi emas di Sangihe berpotensi “menghancurkan” hutan tempat burung endemik ini. Pertambangan emas sendiri diketahui akan mengambil kurang lebih 3.500 hektar dari total izin wilayah sebesar 42.000 hektar yang meliputi setengah bagian selatan Pulau Sangihe.

Sekedar informasi saja, burung ini merupakan bagian dari anggota genus Eutrichomyias atau dengan nama latin lainnya Eutrichomyias Rowleyi yang memiliki perilaku konsumtifnya lazim mencari makan jenis serangga (insectivore) di kanopi pohon dan sub kanopi di ketinggian 15 meter.

Jauh sebelumnya, burung ini telah ditulis keberadaannya oleh naturalis berkebangsaan Jerman, AB Meyer pada 1873. Sempat menghilang selama satu abad dan ditemukan kembali pada 1998 di sekitar Gunung Sahendaruman dan dicatat keberadaannya oleh John Riley dan James C Wardill dari University of York dan Universitas of Leeds, Inggris.

Exit mobile version