Ulat sutra diketahui dapat menjadi bahan dasar kain untuk membuat pakaian. Namun bagaimana jadinya jika ulat sutra sebagai bahan dalam pembuatan sepatu, apakah bisa?
Salah satu UMKM bernama Koperasi Karya Usaha Petani Unggul Sutera (KUPU Sutera), di bawah naungan salah satu program bank di Indonesia, berhasil mengolah ulat sutra menjadi salah satu bahan dalam pembuatan sepatu.
KUPU Sutera sendiri diketahui merupakan sebuah koperasi yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Produk sepatu unggulan mereka adalah sepatu yang terbuat dari bahan sutra dari pengolahan ulat sutra samia.
Di balik pengembangan usaha tersebut, ada seseorang yang tekun bernama Arianto Nugroho. Singkat cerita, dirinya sudah menekuni bidang budi daya ulat sutra sejak tahun 2015. Kala itu, ia dikenalkan oleh kerabat kepada seorang akademisi asal Taiwan bernama Profesor Zhang yang sedang mencari potensi di beberapa negara berkembang dengan kondisi alam yang baik untuk mendukung budi daya ulat sutra untuk industri kain sutra di negaranya.
Adapun negara-negara pilihan Profesor Zhang, yaitu Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Ethiopia. Dalam hal ini Arinto termasuk salah satu kandidat terpilih karena mampu mengembangkan ulat sutra dengan baik dan memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Setelah terpilih ia mencoba untuk merekrut beberapa petani dan anak-anak generasi muda untuk usaha perdana budi daya sutra.
Kala itu, total pekerja yang ia rekrut berjumlah 30 orang. Dengan sumber daya manusia yang terbatas, Arinto berhasil mengekspor kepompong ulat sutra ke Taiwan. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena kebijakan dari pemerintah Indonesia yang menetapkan perihal ekspor harus sudah dalam bentuk setengah jadi atau barang jadi.
Dari momen itulah yang mendorong Arinto untuk terus mengembangkan usahanya dengan sebuah inovasi sepatu dari ulat sutra. Pada dasarnya ulat sutra samia sangat digemari oleh negara luar karena termasuk bahan ramah lingkungan dan bisa dicampur dengan bahan lain seperti kapas, rayon, dan lain sebagainya.
Di masa pandemi, komunitas usahanya pun sempat menurun dari 800 orang pekerja hingga saat ini hanya melibatkan 200 orang pekerja. Diharapkan, dengan kembalinya pemulihan ekonomi pasca menurunnya kasus Covid-19 di Indonesia, usahanya dalam mengembangkan produk sepatu berbahan ulat sutra ini pun ikut membaik dan kembali memberikan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi.
Pasalnya, banyak dampak positif dari keberlangsungan usaha yang didirikan oleh Arinto. Pertama, dirinya mampu membuat usaha produksi sepatunya sebagai wadah untuk pemberdayaan komunitas. Termasuk di antaranya memberdayakan komunitas penyandang disabilitas untuk ikut andil dalam proses produksi sepatu serat miliknya.
Dampak positif lainnya adalah ia juga memanfaatkan untuk melakukan berbagai kerja sama dengan beberapa pelaku usaha. Dari mulai berkolaborasi dengan kelompok usaha kain tenun di Lombok hingga menggandeng pelaku UMKM di Sulawesi.