Berdasarkan data KLHK, Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah setiap tahunnya. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim yang dikelilingi oleh perairan, terkenal asri dan indah. Sayang sekali jika pada akhirnya kelestarian dan kebersihan maritim Indonesia harus tercemar.
Melihat fenomena ini, mantan Puteri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata mendirikan Sea Soldier. Berawal dari hobi travel dan diver di tahun 2006, Nadine mulai mendokumentasikan kondisi lingkungan baik di darat maupun di laut. Dari perjalanan tersebut, ia merasa butuh membuat gerakan lain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal lingkungan.
“Kalau kita travelling, kan melihat sebab-akibatnya. Merasakan akibatnya daerah menjadi lebih kotor atau berantakan. Muncul ketidakseimbangan. Di bawah laut mulai bleaching. Itu yang aku tangkap semua dan menjadi evaluasi diri,” ungkap Nadine.
Evaluasi diri inilah yang menjadikan Sea Soldier berdiri pada 25 Maret 2015. “Saya merasa tidak ada lagi mandor untuk mengontrol keseimbangan lingkungan di daerah-daerah yang saya kunjungi. Maka dari itu, saya berinisiasi dengan kawan saya, Dinni Septianingrum, untuk mendirikan Sea Soldier,” ujarnya. Menurutnya, Sea Soldier ibaratnya prajurit lingkungan yang terdiri dari muda-mudi di daerah mereka masing-masing. Walaupun bernama Sea Soldier, kegiatan mereka bukan hanya di lautan sebab permasalahan lingkungan memang sebagian besar dari darat.
“Fokusnya justru di daratan. Memperjuangkan sebagai negara kelautan dan agar bisa diakui sebagai negara yang bersih, peduli dengan pola hidup kita, dan peduli dengan sampah yang dihasilkan oleh diri kita agar tidak mencemari daratan maupun lautan lagi,” ungkap Nadine.
Setelah berjalan kurang lebih lima tahun, Sea Soldier kini telah tersebar hingga di 14 wilayah Indonesia seperti Bandung, Banyuwangi, Gorontalo, Bali, Balikpapan, Maluku Utara, Lombok, Pontianak, Sulawesi Utara, Medan, Pacitan, Tasikmalaya, Surabaya, dan Jakarta. Empat program utama mereka adalah menanam sebagai bentuk melawan kepunahan, melestarikan mangrove untuk pencegahan abrasi, memberikan edukasi kepada warung untuk pemilahan sampah organik & anorganik, dan menghentikan praktik sirkus lumba-lumba keliling.
“Dalam menjalani kampanye ini, kami juga memiliki kendala utama yakni keengganan banyak pemilik warung untuk mengerti kampanye kebersihan ini. Namun, setelah anggota Sea Soldier datang rutin memberikan edukasi, akhirnya mulai ada perubahan. Kami paham, kesadaran lingkungan tidak bisa cepat dibangun, tapi pasti bisa,” papar Nadine.
Meski ada program kampanye yang berjalan lambat, ada pula yang menunjukkan sukses. Berkat kegigihan kampanye mereka yang konsisten, sirkus lumba-lumba akhirnya dihentikan izinnya oleh pemerintah pada 5 Februari 2020.
“Banyak yang tidak tahu dampak dari sirkus keliling lumba-lumba bisa membunuh mereka. Ini pelan-pelan kita angkat, bersama dengan teman-teman lain. Akhirnya pada 5 Februari sirkus lumba-lumba keliling dinyatakan ilegal dan dilarang,” sambung Nadine.
Cita-cita Nadine dan Dinni cukup mulia, ke depannya ia akan selalu membuka peluang bagi anggota di daerah untuk memiliki inisiatif pendekatan dalam program-program lingkungan. Justru bagi Nadine, keberhasilan di masa depan adalah ketika Sea Soldier telah melahirkan anak-anak muda yang sukses dengan inisiatif gerakan lingkungan masing-masing walau tidak besar.