Saur Marlina Manurung, atau yang sering disapa dengan Butet Manurung, perempuan lulusan Antropologi Unpad tak pernah menyangka bahwa dirinya akan memprakarsai pendidikan kontekstual bagi orang-orang rimba di Indonesia melalui Sokola Rimba. Hal ini berawal dari kecintaan akan alam dan hobinya menjelajah hutan di Indonesia.
“Saya berharap bisa bekerja sesuai dengan hobi saya. Banyak orang yang bekerja kantoran tapi tidak ingin ada di kantor. Tetapi saya tidak mau seperti itu. Saya tidak mau bekerja yang tidak sesuai dengan hobi,” terang Butet.
Semesta pun mendukung cita-cita Butet, saat lulus kuliah dirinya mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan alam yakni pemandu wisata di sebuah taman nasional. Namun, pekerjaan tersebut hanya ia jalani selama dua minggu. Tak lama, Butet melihat info lowongan kerja di koran yang mencari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba di Jambi.
Sebagai anak alam garis keras, Butet memulai kembali kontribusinya pada alam melalui lowongan kerja tersebut. “Saya merasa kalau di alam saja tidak cukup. Saya harus melakukan sesuatu yang bernuansa petualangan, tapi ada perjuangan, ada aktivitasnya. Saya baru menemukan jati diri lebih sempurna lagi di situ,” terangnya.
Maka berdirilah Sokola Rimba yang ada di Taman Nasional Bukit Dua belas dan Bukit Tiga puluh Jambi. Secara garis besar, Sokola Rimba merupakan wadah untuk mendidik dengan pendekatan antropologis dan kontekstual. Dalam pengajarannya, Butet turut tinggal bersama anak didiknya (live in). Tujuan Butet live in dengan orang-orang Rimba ini untuk memahami pola hidup, situasi, dan adat yang melingkupi kehidupan peserta didiknya untuk menyusun pengajaran yang sistematis.
Seperti halnya ketika Butet mengenalkan huruf, ia menghubungkan benda-benda yang sering ditemui oleh orang-orang Rimba. Contohnya, huruf A yang dihubungkan dengan Atap, dan huruf C yang dikaitkan dengan pegangan periuk. Dalam pengajaran huruf, Butet meringkas menjadi 14 huruf berpasangan. Dari metode alternatif ini, Butet meraih The Man and Biosphere Award dari LIPI-UNESCO.
Butet juga memaparkan, selain mengajarkan baca tulis, dirinya menjelaskan mengapa dirinya lebih memilih pendidikan kontekstual daripada formal untuk orang-orang rimba.
Menurut Butet, Indonesia adalah negara dengan ragam adat dan budaya yang kaya. “Pendidikan yang baik adalah pendidikan kontekstual karena dalam pendidikan harus benar-benar memahami apa yang dibutuhkan. Jadi, pendidikan kontekstual sebaiknya melibatkan orang setempat untuk mengajar. Contoh, kalau di suatu tempat kebiasaannya adalah berburu, maka sebaiknya diselipkan tenaga setempat yang bisa mengajar berburu,” imbuhnya.
Dalam memberikan pendidikan, Butet tak serta merta mendapatkan kesuksesan. Dirinya sempat tidak diterima oleh orang-orang Rimba atas misi pengajarannya tersebut. Bagi Orang Rimba, pendidikan adalah budaya asing yang berbahaya bagi adat mereka.
“Mereka menganggap bahwa pendidikan adalah utusan penjahat yang mencelakakan. Bahkan pulpen, kata Suku Kubu, adalah senjata setan. Padahal banyak di antara mereka yang belum bisa baca tulis. Akibatnya mereka sering tertipu orang asing karena tanah mereka dirampas lewat selembar surat perjanjian. Melihat adanya fenomena ini, saya selalu tetap optimis meyakinkan orang-orang rimba bahwa pendidikan itu penting,” ceritanya.
Semenjak berdiri di tahun 2003 dan mengikrarkan sebagai Sokola Institute, Butet dan kawan-kawan pengajar lainnya telah berhasil memberikan pendidikan alternatif kepada 10.000 orang rimba di 15 daerah pedalaman yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebaran pendidikan tersebut berhasil mencapai dari Jambi, Aceh, Pariaman, Cianjur, Dukuh, Klaten, Merapi, Bantul, Makassar, Sumber Candi Jember, Wailaso, Bulukumba, Halmahera, Asmat, hingga Sumba.
Selain bertambahnya wilayah pengajaran, Butet juga menyabet beberapa penghargaan atas jasanya. Beberapanya adalah Heroes of Asia Award 2004 yang diberikan oleh Majalah Time. Ia dinobatkan sebagai salah satu perempuan berpengaruh versi Majalah Globe Asia edisi Oktober 2007, Asia Young Leader (2007), Young Global Leader (2009), Ernst and Young Indonesian Social Entrepreneur of the Year 2012 dan Ramon Mangaysay Award di tahun 2014.