Hai, Sob, kalau kamu sudah berselancar di halaman pencarian Google hari ini, akan terlihat tampilan sosok penyair Indonesia. Berkacamata dan mengenakan topi pet, gambaran sosok di ikon Google dooodle itu mengingatkan kita pada deretan karya syair indah. Yap, penyair Sapardi Djoko Damono jadi Google dooodle hari ini. Ikon itu juga memperlihatkan motion tetesan air hujan.
Mengapa beliau menjadi Google doodle ini? Ternyata untuk mengenang sekaligus merayakan ulang tahun ke-83 Pak Sapardi. Sapardi Djoko Damono (SDD) dilahirkan di Surakarta, 20 Maret 1940. Sastrawan yang juga pengajar sastra di sejumlah universitas itu telah meninggal dunia pada 19 Juli 2020 lalu.
Semasa hidupnya, Sapardi telah menorehkan banyak sekali puisi. Sapardi yang juga dikenal dengan sapaan Eyang Sapardi dikenal secara luas oleh publik sebagai perintis puisi liris Indonesia. Buku kumpulan puisi pertamanya berjudul Duka-Mu Abadi (terbit pada 1969). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Beberapa karya puisi Sapardi teramat populer dan banyak orang yang mengenalinya sebagai puisi bernuansa romantis. Salah satunya ialah “Aku Ingin” yang cukup sering bait pertamanya diterakan pada undangan perkawinan.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Menginspirasi karya musik dan film
Selain menulis puisi, Sapardi mewariskan beragam warisan karya bagi dunia kesusastraan Indonesia, bahkan dunia seni-kreatif. Cerita-cerita pendek, esai, dan novel juga telah ditelurkannya. Sapardi juga menerjemahkan berbagai karya penulis dari negara lain.
Kepopuleran puisi-puisi Sapardi bermula dari musikalisasi puisi yang dilakukan oleh mantan-mantan mahasiswa Sapardi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu. Proyek musikalisasi puisi komunitas alumni UI ini salah satunya menghasilkan album terkenal Hujan Bulan Juni (1990). Menyusul karya serupa, musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono berupa album Hujan dalam Komposisi menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama.
Komunitas itu mendorong terbentuknya duet Dua Ibu yang terdiri atas Reda dan Tatyana. Belakangan nama Reda Gaudiamo dan Ari Malibu moncer dengan asma duo Ari-Reda. Mereka kerap membawakan puisi-puisi Sapardi yang telah dialihwahanakan menjadi lagu.
Jejak karya musik dari kedua kolaborasi itu menghasilkan album Gadis Kecil (2006) diprakarsai duet Dua Ibu, dan album Becoming Dew (2007) dari duo Ari-Reda. Setelah Ari Malibu meninggal dunia pada 2018, Reda Gaudiamo bersolo karier dan menjadi penulis buku.
Pengaruh kesusastraan Sapardi merentang ke banyak segi. Komposer Ananda Sukarlan juga pernah menginterpretasi beberapa puisi karya Sapardi pada 2007. Penyanyi solo Jason Ranti juga menggubah sebuah lagu berjudul Lagunya Begini, Nadanya Begitu (Pak Sapardi) sebagai penghormatan kepada beliau.
Salah satu grup penyanyi bergenre pop-jazz, Bianglala Voices, juga menggubah album Persembahan untuk Sapardi Djoko Damono pada 2017. Dalam karya musik ini, terangkum musikalisasi puisi sejumlah sajak Sapardi, di antaranya “Hujan Bulan Juni”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Akulah si Telaga”, “Sajak Kecil tentang Cinta”, dan “Yang Fana adalah Waktu”.
Pada 2017, novel Sapardi juga telah diangkat ke dalam film berjudul sama, Hujan Bulan Juni. Film ini dibintangi oleh Velove Vexia yang berperan sebagai Pingkan, seorang dosen muda Sastra Jepang Universitas Indonesia. Pingkan mendapat kesempatan belajar ke Jepang selama dua tahun. Sementara itu, kekasihnya Sarwono (diperankan Adipati Dolken) nelangsa mendengar kabar ditinggal Pingkan, yang selama ini hampir tidak pernah lepas dari sampingnya.
Kalau kamu suka sama karya-karya Sapardi yang mana, Sob? Mari bersama-sama kita ucapkan selamat ulang tahun, Eyang Sapardi. Selamat berbahagia abadi.