Bagi umat muslim di Indonesia, mungkin sudah nggak asing lagi dengan tradisi malam 1 Suro. Ya, tadisi ini biasa diselenggarakan saat menyambut tahun baru Islam, khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah Pulau Jawa. Mumpung masih dalam nuansa Tahun Baru Islam, kita bahas lebih jauh tentang tradisi malam 1 Suro yuk, Sobat.
Mengenai kata “Suro” sendiri merupakan salah satu bulan yang terdapat di kalender Jawa, yang mengacu pada penanggalan Hijriyah (Islam). Di sisi lain, kata “Suro” juga diambil dari istilah bahasa Arab, yakni ‘Asyura’ yang artinya “kesepuluh”. Kemudian Suro dijadikan bulan permulaan hitungan dalam kalender Jawa.
Kalender ini pertama kali dikeluarkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo sejak 1940 tahun yang lalu. Sampai saat ini kalender tersebut masih digunakan oleh umat Islam di Jawa sebagai pergantian awal bulan Muharram.
Akan tetapi, dahulu Sultan Agung masih menggabungkan kalender Hijriyah dan tarikh Saka dengan tujuan untuk menyatukan umat Islam dan masyarakat Jawa agar bisa melaksanakan acara keagamaan secara bersamaan. Di mana kala itu terbagi menjadi dua, yakni kaum Avangan (Kejawen) dan Putihan (Islam).
Hitungan malam 1 Suro pun lebih lambat dari 1 Muharram dalam kalender Islam. Kebetulan untuk di tahun 2022 ini, malam 1 Suro jatuh pada 29 Juli 2022, terhitung dari setelah maghrib. Sementara itu, 1 Muharram 1444 Hijriyah jatuh pada tanggal 30 Juli 2022.
Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Suro disebut juga sebagai malam keramat. Di malam tersebut mereka juga menjalankan beberapa tradisi yang terkenal dengan kesakralannya.
Adapun kebiasaan yang dilakukan pada malam 1 Suro seperti ritual mujahadah, pembacaan doa, hingga bersedekah. Sekedar informasi, dalam tradisi Jawa sedekah yang dilakukan bentuknya bisa berupa Selametan Kenduri, bertapa dan beberapa jenis tradisi lainnya yang masih termasuk dalam tradisi keberagaman Islam yang bercorak Jawa.
Lantas, apa makna dari tradisi malam 1 Suro?
Di beberapa wilayah, selama tradisi peringatan malam 1 Suro berlangsung ada yang melakukan Tapa Bisu. Jadi, pada tradisi ini mereka akan mengunci mulut atau puasa berbicara tanpa melontarkan satu kata pun.
Adapun makna dari ritual tersebut diartikan sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah. Pada tradisi ini biasanya masyarakat setempat akan menggunakan simbol-simbol dengan maksud agar manusia tidak lupa bahwa dirinya merupakan ‘tajalli’ artinya bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan.