Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan menjadi Undang-undang (UU) pada Selasa (11/7/2023). Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022–2023. Sayangnya, dengan RUU Kesehatan telah disahkan, dikhawatirkan ada 3 masalah yang rentan bakal rugikan publik.
Protes pun disuarakan beberapa pihak, di antaranya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Transparency International Indonesia. Jauh sebelum disetujui dan ketok palu, RUU Kesehatan yang bernuansa sama dengan Omnibus Law ini telah ditolak oleh sejumlah asosiasi tenaga medis. Namun, mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan.
Lalu, apa saja masalah yang muncul dari RUU Kesehatan yang telah disahkan ini?
Membatasi Ruang Partisipasi Publik
Pertama, seperti telah disinggung, pembahasan RUU Kesehatan membatasi ruang partisipasi rakyat. Sebagaimana proses pembahasan UU Cipta Kerja dan UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), RUU Kesehatan menggunakan metode omnibus yang terbukti membuat rakyat sulit berpartisipasi. Aturan yang termuat di dalamnya lalu berpotensi untuk bertentangan bukan hanya dengan UU lain, tapi juga konstitusi UUD 1945.
Industrialisasi Kesehatan dan Makin Komersial
Memperoleh layanan kesehatan adalah hak dasar warga negara. Namun RUU Omnibus Kesehatan yang telah menjadi UU Kesehatan baru mengubah filosofi bidang pelayanan kesehatan. Jika sebelumnya melayani pemenuhan hak dasar warga negara, kini akan berangsur menjadi kegiatan industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi bisnis dan mencari keuntungan.
Salah satu wujud praktiknya adalah dengan dihapuskannya alokasi anggaran minimal. Hal ini akan berdampak prasyarat pemenuhan hak atas layanan kesehatan bergantung pada “kebaikan hati” penguasa pusat dan daerah.
Pemenuhan hak atas kesehatan jelas merupakan kewajiban negara, juga menyangkut pemenuhan kewajiban harus dibuktikan dengan alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Lalu apa yang terjadi bila pemerintah tidak menyediakan anggaran minimal kesehatan publik?
Penghapusan alokasi anggaran minimal akan membuat standar pemenuhan layanan kesehatan bagi publik tidak diterapkan secara layak. Warga negara akan semakin dipersulit, dan rentan dibebani dengan ongkos mahal.
Liberalisasi Layanan Kesehatan
UU Kesehatan membuka keran kesempatan bagi tenaga kesehatan yang berstatus warga negara asing (WNA) untuk dapat bekerja di fasilitas kesehatan Indonesia. UU Kesehatan juga menghapus aturan sebelumnya yang mewajibkan WNA tenaga kesehatan harus bisa berbahasa Indonesia.
Dalam ketentuan yang berlaku sebelumnya, standar kemampuan berbahasa Indonesia bertujuan untuk menyesuaikan pasien di Indonesia yang mayoritas berasal dari kelas menengah. Nah, Sob, dengan WNA diperbolehkan memakai bahasa bukan Indonesia, menunjukkan bahwa layanan dari tenaga kesehatan asing terkesan hanya untuk pasien dari kalangan ekonomi menengah ke atas.
Jadi bias pelayanan yang kurang manusiawi dan nggak adil, kan, Sob?
Aspek Perlindungan Hukum
Di sisi lain, UU Kesehatan menjamin perlindungan hukum bagi nakes sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan. Seperti diungkapkan Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Syahril, para nakes merupakan mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan transformasi kesehatan. Maka sudah sepatutnya mendapatkan hak termasuk mendapatkan perlindungan hukum yang baik.
Dalam UU Kesehatan baru, pemerintah mengusulkan tambahan substansi hak bahkan bagi peserta didik spesialis untuk mendapatkan perlindungan hukum, yang tertuang dalam pasal Pasal 208E ayat (1) huruf a draf usulan pemerintah.
“Mulai dari statusnya sebagai peserta didik spesialis sudah berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum,” ucap dr. Syahril, dilansir laman resmi Kementerian Kesehatan.
UU Kesehatan juga mengatur substansi hak nakes untuk menghentikan pelayanan apabila mendapat perlakuan kekerasan fisik dan verbal.
Menurutmu gimana, Sob, dengan ketentuan dalam UU Kesehatan terbaru ini?