Rumah Indonesia: Tempat Belajar Bahasa dan Budaya Indonesia untuk Diaspora di Amerika Serikat

Siswa – siswi yang belajar mulai dari usia 6 tahun hingga 16 tahun.

Salah satu kelas Rumah Indonesia mengajarkan pola Batik./Sumber foto: rumah-indonesia.org

Salah satu kelas Rumah Indonesia mengajarkan pola Batik./Sumber foto: rumah-indonesia.org

Apa jadinya jika Anda telah berkeluarga di luar negeri khususnya Amerika Serikat, namun memiliki anak yang tidak mengerti bahasa Tanah Air, bahasa Indonesia? Pasti sebagai seseorang yang cinta terhadap Indonesia, Anda akan mencoba mengajarkan sedikit demi sedikit bahasa tanah kelahiran Anda. Seperti yang dilakukan oleh kelompok aktivis diaspora Indonesia bernama Rumah Indonesia.

Ya, Rumah Indonesia merupakan wadah pengenalan dan pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia, terutama untuk anak-anak. Wadah ini berada di kota Washington D.C yang dikepalai oleh Nona Kurniani seorang kepala sekolah bahasa Indonesia.

Dengan wadah ini, ia memiliki misi memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia sebagai salah satu program mengajar kelas bahasa Indonesia khususnya anak-anak di Amerika Serikat. Bahkan tidak jarang anak-anak usia muda di Amerika Serikat diajarkan membuat corak batik.

“Jadi misinya memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia yang salah satu programnya adalah mengajar bahasa Indonesia, khususnya saat ini kepada anak-anak di Amerika. Kelas bahasa Indonesia sudah kami mulai tahun 2012. Anak-anak antara umur 6 dan 16 tahun boleh belajar bahasa Indonesia di Rumah Indonesia,” ujar Nona Kurniani seperti dikutip salah satu media online.

Selama pandemi, pembelajaran kelas bahasa dan budaya Indonesia ini dilakukan secara virtual. Pembelajaran jarak jauh ini memungkinkan kelas dengan peserta didik yang jumlahnya lebih besar dan hingga di luar kota Washington D.C.

Meski pembelajaran dilakukan secara virtual, tidak sedikit siswa-siswi menolak pembelajaran secara daring, karena sudah lima hari bersekolah daring. Sehingga, ketika mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia (pada Sabtu), para siswa dan siswi ingin belajar secara tatap muka.

Maria Rosaria Ningrum salah satu relawan guru menjelaskan, jika saat ini para siswa tidak hanya wilayah  Washington D.C saja, namun dari wilayah lain yang tak jauh dari ibukota Amerika Serikat tersebut.

“Mereka menambah kemajemukan dari segi latar belakang. Itu menarik untuk dibagikan kepada sesama teman dalam kelas. Selain itu, tingkat kemampuan mereka berbeda-beda,” ujar Maria.

Exit mobile version