Kesehatan mental kini mulai dinilai penting bagi masyarakat, baik di kehidupan sehari-hari bahkan perusahaan. Tentu hal tersebut menjadi kabar baik, Sob. Semua ini berkat pengguna media sosial yang makin aware dengan isu kesehatan mental. Namun sayangnya, di tengah awareness kesehatan mental yang sedang gencar, terdapat romantisisasi gangguan mental pula.
Romantisisasi gangguan mental sangat disayangkan karena dapat menimbulkan kerancuan di antara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), dan seseorang yang melakukan self diagnosis alias mendiagnosa diri sendiri.
Memangnya, bagaimana bentuk dari romantisisasi gangguan mental?
Pernahkah kalian melihat konten media sosial yang berkaitan dengan gangguan kejiwaan, lalu dibuat seakan-akan menjadi edgy, estetik, dan lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya. Nah, itulah romantisisasi gangguan mental! Seperti pada potret di bawah ini. Terdapat beberapa film yang mencatumkan quote atau dialog yang seakan-akan menggambarkan bahwa, “memiliki gangguan mental sepertinya indah, layaknya kehidupan pada sebuah film atau tokoh film.”
Sama halnya seperti cuitan Twitter yang pernah ditampilkan oleh penyanyi Nadin Amizah berikut ini. Ia membubuhkan caption pada swafotonya dengan kalimat, “Your girlfriend. Your mentally unstable girlfriend.”
Merujuk pada Shrestha (2018), definisi romantisisasi gangguan mental adalah “The romanticization of mental illness is the depiction of mental illness as more glamorous, attractive, or alluring than it truly is.” Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, romantisisasi gangguan mental adalah kondisi di mana individu menganggap bahwa gangguan mental adalah sesuatu yang menarik dan kekinian.
Sebenarnya, tak pernah ada yang salah dengan konten mengenai kesehatan maupun gangguan mental. Namun sayangnya, konten tersebut seakan-akan menjadi glorifikasi bahwa ODGJ atau ODMK adalah sesuatu yang ‘indah’ dan unik.
Selain dalam konten media sosial, romantisisasi gangguan mental juga sering hadir di percakapan kehidupan sehari-hari. Acapkali, secara sengaja individu ‘memunculkan’ gejala gangguan mental agar terlihat seperti benar-benar sedang mengalaminya. Contoh kalimatnya bisa seperti ini, Sob:
“Healing dulu ke Bali, depresi banget, nih!”
“Mood aku sering berubah-ubah cepat banget, kayak orang bipolar”
“Jangan main-main sama aku, aku psikopat!”
Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Tentu karena ingin meraup simpati dan terlihat ‘berbeda’ atau unik. Hematnya, seperti menjadi normal adalah hal mainstream, sedangkan memiliki gangguan mental adalah edgy.
“Lalu, apa penyebab dari adanya glorifikasi gangguan mental ini?”
Menurut jurnal Young Adults Mental Illness Aesthetics on Social Media karya Lee dan Vidamaly (2021), ada tujuh mediator yang menjadi penyebabnya, di antaranya Tumblr (media sosial), media, perilaku mencari perhatian orang, coping mechanism, victimhood, emo culture, dan kesadaran akan kesehatan mental.
Media yang dimaksud pun beragam, mulai dari film, TV, majalah, buku, karya seni hingga media sosial. Menurut artikel Mental Illness: From Stigma to Glorification karya Desai, deretan media tersebut bahkan berperan besar dalam glorifikasi gangguan mental, terutama gangguan makan, depresi, kecemasan hingga self-harm.
Romantisisasi Gangguan Mental: Jembatan Self Diagnosis dan Memunculkan Stigma Buruk
Maraknya romantisisasi gangguan mental ini dapat memberikan dampak buruk bagi seseorang yang benar-benar berjuang dengan gangguan mentalnya. Menurut Desai (2017), mereka akan kesulitan mencari pertolongan dari orang lain karena hanya dianggap mencari atensi dan menjadi bahan bercandaan. Hal ini jadi stigma buruk bagi ODGJ dan ODMK.
Dilansir Healthy Place, glorifikasi gangguan mental berujung pula pada ‘gerbang’ bagi self-diagnosis alias diagnosis diri sendiri. Perlu diketahui, gangguan mental hanya bisa didiagnosa oleh pihak medis, ya, Sob, seperti psikolog dan psikiater melalui adanya assessment.
Self-diagnosis dianggap berbahaya tak hanya bagi diri sendiri, namun juga orang lain. Anggapan bahwa mental illness adalah sesuatu yang indah serta ‘unik’, menjadikan hal tersebut ingin dimiliki seseorang. Selain itu pada setiap gejala yang dirasakan, dengan mudahnya individu melabelinya sebagai gangguan mental demi mendapatkan ‘predikat’ penderita.
Kondisi tersebut diperburuk dengan adanya klaim menderita gangguan mental yang diunggah ke media sosial. Melansir North Texas Daily, seseorang yang mengklaim tanpa adanya diagnosa resmi dari medis, lalu mengunggah jadi konten akan mengakibatkan ODGJ dan ODMK akan melakukan perbandingan. Munculnya pikiran seperti, “mengapa aku tidak sebaik dia, padahal kami sama-sama memiliki mental illness?” akan memicu insecure dan anxiety bagi pengidap yang sebenarnya.
Usaha untuk melakukan awareness terhadap kesehatan mental dan glorifikasi gangguan mental kini sangat mirip, apalagi jika kamu menemuinya di media sosial, Sob. Paling penting, jangan sesekali kamu melakukan self diagnosis, ya. Jika kamu merasakan gejala terkait, jangan ragu atau enggan untuk datang ke pihak medis seperti psikolog dan psikiater untuk mencari pertolongan.
Peran Pemerintah Indonesia pada Kesehatan Jiwa
Direktorat Pelayanan Rujukan Kementerian Kesehatan rupanya sudah berusaha mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, Sob. Ditemukan bahwa akses, sarana prasarana, sumber daya manusia (SDM), dan stigma adalah masalah utama dalam isu kesehatan mental yang berdampak pada kualitas layanan, kualitas hidup ODGJ dan ODMK, biaya kesehatan, serta produktivitas dan kualitas SDM.
Dikutip Harian Kompas edisi (10/10), perihal masalah fasilitas pelayanan di bidang kesehatan jiwa rupanya di Indonesia rupanya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Walau UU ini dinilai sudah usang, namun Kementerian Kesehatan punya cukup SDM dan komitmen tinggi mampu untuk mengatasi isu kesehatan mental di Indonesia. Beberapa upaya juga sudah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan terkait isu kesehatan mental, kok, Sob. Contoh sederhana adalah mengikisnya stigma istilah ‘orang gila’ yang kini diganti dengan ODGJ dan ODMK.
Selain itu, percepatan pembangunan rumah sakit jiwa di 6 provinsi juga sedang berproses. Terbaru, implementasi UU Kesehatan Jiwa pasal 65 (3) bahwa menteri menetapkan institusi atau lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai pusat penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi serta produk teknologi dalam bidang kesehatan jiwa.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, bahkan membuat Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/741/2022 tentang Penetapan Rumah Sakit Jiwa Dr H Marzoeki Mahdi Bogor sebagai Pusat Kesehatan Jiwa Nasional. RSJ di Bogor ini dinilai penting karena menjadi pengampu utama jejaring kesehatan jiwa (skizofrenia, depresi, ansietas, NAPZA), koordinator sister hospital, pusat riset di bidang kesehatan jiwa, dan konseptor lima layanan unggulan (psikogeriatri, psikiatri anak remaja, psikiatri forensik, psikiatri adiksi, dan psikiatri komunitas).
Walaupun anggaran yang dikeluarkan untuk membangun pusat kesehatan jiwa ini nggak sedikit, namun kemunculannya menjadi pertanda bahwa Indonesia optimis menangani kesehatan jiwa sesuai cita-cita UU Kesehatan Jiwa.
Karena pada tanggal 10 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa, tim Sampaijauh.com mengingatkan lagi, nih. Bagi yang merasakan gejala, jangan self diagnosis, ya! Jangan ragu untuk mengunjungi pihak medis untuk mendapatkan pertolongan. Your life matters, Sob!
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.
Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.
Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:
RSJ Amino Gondohutomo Semarang | (024) 6722565
RSJ Marzoeki Mahdi Bogor | (0251) 8324024, 8324025
RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta | (021) 5682841
RSJ Prof Dr Soerojo Magelang | (0293) 363601
RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang | (0341) 423444
Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.