Setiap tanggal 9 Februari, Indonesia memperingati Hari PERS Nasional. Bukan tanpa alasan harinya wartawan ini dirayakan, Sob. Senyatanya pemerintah memang menganggap bahwa pers sebagai pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Nah, di artikel kali ini, Sampaijauh.com akan membahas Roehana Koeddoes (ejaan lama) atau Ruhana Kuddus, wartawati pertama Indonesia.
Pahlawan nasional yang mempunyai nama Siti Ruhana ini lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884. Sejak kecil, Ruhana gemar membaca buku, majalah maupun surat kabar yang dibeli ayahnya. Ruhana sudah mampu mengenal abjad latin, Arab dan Arab Melayu saat ia masih berusia lima tahun.
Karir wartawatinya bermula saat ia mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia yang mengajarkan perempuan beragam keterampilan dari mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama, dan Bahasa Belanda.
Ruhana berniat untuk memperluas perjuangannya membantu sesama perempuan bahkan hingga ke daerah lain. Suami Roehana Koeddoes setuju dengan niat mulia tersebut. Usai berdiskusi dan mendapatkan persetujuan suami, Roehana Koeddoes kemudian mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja yang merupakan pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe di Padang, Sumatera Barat dan meminta perempuan diberikan ruang untuk menulis di surat kabar.
Maharadja yang telah mendengar kiprah Ruhana di kegiatan pendidikan kemudian memperbolehkan Ruhana mendirikan surat kabar Soenting Melajoe yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat pendidikan perempuan Indonesia pada 10 Juli 1912. Ruhana menjadi pemimpin redaksi, dibantu oleh putri Soetan Maharadja, Zoebaidah Ratna Djoewita.
Perjuangan Ruhana selanjutnya adalah ia mengikuti jejak Tirto Adhi Soerya, dengan menerbitkan surat kabar perempuan pertama, bernama Poetri Hindia. Ruhana menerbitkan surat kabar Sunting Melayu yang merupakan surat kabar perempuan pertama di Hindia Belanda.
Tulisan-tulisan Ruhana di surat kabar aktif menyoroti isu seputar perempuan seperti ketidakadilan dalam adat istiadat hingga isu-isu poligami.
Ruhana juga sempat memimpin surat kabar Perempuan Bergerak, Radio dan Cahaya Sumatera. Sepanjang kariernya hingga ia wafat pada 17 Agustus 1972, Ruhana terus mendorong perempuan untuk membela kesetaraan dan melawan kolonialisme dengan berbagai prestasi yang diakui nasional.
Maka tak heran jika Ruhana disebut sebagai Ibu Pers Nasional hingga akhirnya resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional Kartini dari Sumatra pada September 2019 lalu dan mendapatkan gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan oleh Presiden Jokowi pada 6 November 2019 lalu.