- Puisi mbeling kerap hadir dalam bentuk humor dan kritik satir.
- Terkenal setelah adanya rubrik Puisi Mbeling di Majalah Aktuil, asuhan sastrawan Remy Sylado.
“Words - so innocent and powerless as they are, as standing in a dictionary, how potent for good and evil they become in the hands of one who knows how to combine them” - Nathaniel Hawthorne.
Nukilan dari Hawthorne di atas mungkin cukup mewakilkan penggambaran sebuah puisi. Setiap bait kata dirangkai menjadi sebuah kalimat dengan beragam makna. Bak ‘peluru’ dan ‘pelukan’, itulah sebuah bait puisi, Sob. Di Indonesia sendiri, terdapat salah satu jenis puisi yang cukup unik, adalah puisi mbeling.
Kehadiran puisi mbeling sukses mewarnai kesusastraan Indonesia dan mencuri atensi berbagai pihak. Sebab, ia [puisi] mendobrak pakem sastra puisi lama yang mengharuskan penggunaan 4 larik per bait.
Kemunculan Puisi Mbeling di Indonesia
Harry Aveling, dosen di Departement of Asian Studies di Latrobe University, Melbourne, dalam bukunya yang bertajuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry (1966–1998) menjelaskan kalau kondisi sosial politik di Indonesia, khususnya di bawah rezim Soeharto menimbulkan memunculkan berbagai polemik.
Salah satunya adalah legalisasi hak untuk mengkritik yang berpengaruh pada penulis. Dari masalah tersebut, kemudian berdampak pada adanya batas bagi sastra dan politik. Hal ini diperkuat dengan pelarangan penulisan, penangkapan, dan penahanan penulisnya.
Atas reaksi kondisi sosial politik tersebut, lahirlah puisi mbeling yang merupakan penggambaran ‘dunia menjadi absurd’ menurut Harry. “Puisinya tampil lebih dari sekadar humor getir. Di baliknya tersimpan dengan halus ‘kepahitan pada ketidakadilan yang garang di masyarakat Indonesia saat ini’ dibuat seperti ‘simbol dan slogan yang dapat dengan bebas menampilkan imaji kepentingan masyarakat,” terang Harry.
Nama sastrawan yang sempat berkiprah pada karya puisi mbeling adalah Darmanto Jatman, Yudhistira ANM Massardi, dan Sutardji Calzoum Bachri. Namun, tokoh yang ‘menggebrak’ keberadaan puisi unik ini hingga eksis adalah Remy Sylado.
Saat itu, ia tampil di majalah Aktuil–majalah musik yang juga menampung sajak maupun karya sastra. Salah satu lembaran dalam majalah tersebut bernama Puisi Mbeling yang pada setiap edisinya disertai dengan pengantar pengasuh; Remy Sylado. Rubrik Puisi Mbeling tersebut pertama kali terbit pada Agustus 1972 .
Rubrik tersebut hadir dengan maksud memberikan kesempatan bagi penyair muda agar untuk memantik semangat berkarya dan mendobrak hakikat dan estetik puisi yang selama ini terkurung teori kaku serta baku.
Dilansir laman Badan Bahasa Kemdikbud, dalam pengantar pengasuh tersebut, penulis kelahiran Jakarta tersebut melandasi munculnya puisi tersebut. Nah, mbeling sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak.
Dalam buku Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa dari sejumlah kata pengantar yang sempat diteliti bisa ditarik kesimpulan kalau Remy Sylado dan pengasuh-pengasuh lainnya bukan orang yang berpendapat tanpa alasan–bukan tong kosong nyaring bunyinya. “Yang khas adalah gaya penya penyampaian alasan-alasan tersebut.” ungkapnya.
Sedangkan Remy Sylado dalam buku yang sama menjelaskan kalau bikin puisi itu gampang, seperti orang meludah atau membuang ingus saja. Ia menyarankan sastrawan untuk melihat apa saja yang ada di sekeliling.
“Pindahkan saja apa yang kau lihat tadi secara menyeluruh tanpa harus dibebani pikiran tentang baik-buruknya, bersih-kotor, indah-jelek, maka dengan jalan itu pula kau telah memilih sikap yang lugu, yaitu menerima apa adanya,” jelas Remy.
Perbedaan Puisi Mbeling dengan Puisi Lama
Kalau Sobat sudah pernah melihat karya sastra seperti pantun, gurindam, karmina, syair, seloka, dan talibun, itulah yang disebut dengan puisi lama. Menurut laman resmi Kemdikbud, puisi lama kental kaitannya dengan persajakan, pengaturan larik dalam setiap bait, dan jumlah kata dalam larik, sekaligus rima.
Sedangkan puisi baru seperti puisi mbeling lepas dari pakem itu, Sob. Ia kerap memiliki corak humor atau kritik satir terhadap suatu fenomena, khususnya sosial politik.
Karya Puisi Mbeling
Kalau kamu penasaran dengan bait dari puisi mbeling, lihat salah satu karya puisi Remy Sylado bertajuk Belajar Menghargai Hak Asasi Kawan di bawah ini, Sob.
Belajar Menghargai Hak Asasi Kawan
Jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi.
Jika
laki saudara
ya perempuan saudari.
Jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi.
Jika
laki putra
ya perempuan putri.
Jika
laki kawan
ya perempuan kawin.
Jika
kawan kawin
ya jangan ngintip.
Menukil Jurnal Riset Pendidikan dan Bahasa: Inspirasi Dunia Vol. 1 (2022), puisi tersebut menggambarkan keadaan perempuan dan pria yang tak dapat disamakan dalam taraf pendidikan. Kalau dilihat dari segi pragmatik, puisi tersebut menjelaskan adanya sindiran terhadap hak asasi manusia saat zaman Orde Baru yakni tidak adanya kesetaraan bagi perempuan dalam hal pendidikan dan pekerjaan.
Puisi mbeling berhasil menjadi ‘warna’ baru bagi jenis puisi di Indonesia. Terlepas dari ciri khasnya yang satir, alangkah baiknya kita turut melestarikan puisi jenis ini untuk sesuatu yang bijak, ya, Sob. Seperti di awal tulisan tadi, nih, bak ‘peluru’ dan ‘pelukan’, itulah sebuah puisi.