Peringatan Hari Musik Nasional jadi momentum bagi pemaknaan potensi musik Indonesia untuk dikenal secara global. Selain mempelajari literasi seputar karya musik, membenahi industri musik Tanah Air perlu dijalankan. Pertama-tama, nih, Sob, dirasa penting mendorong pelaku dan pecinta musik menyadari potensi teknologi digital majukan industri musik nasional.
Direktur Industri Musik, Seni, Pertunjukan dan Penerbitan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mohammad Amin, mengatakan, peringatan Hari Musik Nasional setiap 9 Maret perlu dirayakan untuk mensyukuri bangkitnya industri musik lokal sebagai produk diplomasi dan produk ekonomi kreatif.
“Industri musik kita sudah berjalan dengan bagus walau mungkin saat ini ada permasalahan seperti royalti dan sebagainya. Akan sangat baik bila semua pemangku kepentingan bisa bergandengan tangan membenahi industri musik sesuai dengan aturan yang telah disepakati,” ujar Amin, di Jakarta, Selasa (7/3/2023), melansir Republika.
Beberapa tahun terakhir pun musisi Indonesia sudah banyak dikenal oleh publik mancanegara lewat karya lagu ciptaannya. Beberapa di antaranya ialah “I Love U 3000” dari Stephanie Poetri. Aplikasi pemutar musik Spotify mencatat “I Love You 3000” telah diputar 28 juta kali, sementara videonya sudah diputar sebanyak 30 juta kali.
Ada pula musisi rap Rich Brian dan RamenGvrl yang melanglang buana di kancah musik luar negeri. Terkait itu, keberadaan teknologi digital telah memungkinkan persebaran konten musik dapat meluas secara cepat dan mudah. Di satu sisi, keunggulan ini patut diimbangi dengan upaya memaksimalkan kekayaan identitas musik asali Indonesia.
Menurut Amin, musisi lokal memiliki potensi bagus dan terbukti mampu mengolah seni tradisional dan kontemporer sehingga memiliki daya tawar kuat ke dunia internasional.
“Semangat ini yang harus kita lihat dari peringatan Hari Musik Nasional. Tantangan di era globalisasi adalah bagaimana kita bisa kuat dan beradaptasi. Misalnya dengan mengedepankan diferensiasi produk atau membentuk konstruksi lokal yang kemudian mengglobal,” ujar Amin.
Amin mencontohkan lagu “Lathi“ yang dikreasi oleh grup Weird Genius dan penyanyi Sara Fajira. Menurutnya, keunikan komposisi musik dalam lagu ini menarik minat pendengar yang dibuktikan jumlah ratusan juta orang yang telah menonton video musiknya di YouTube.
“Selling point-nya ada pada nada pentatonik Jawa di salah satu bagiannya,” paparnya.
Awas ‘Sindrom Bintang’!
Di sisi lain, musikus Andy /rif takjub terhadap perkembangan industri musik belakangan. Fasilitas yang ditawarkan teknologi digital membuat akses musisi-musisi muda untuk memasarkan karya menjadi lebih mudah.
Kemudahan itu berkebalikan dengan masa-masa keemasan industri musik nasional yang dirasakan Andy /rif pada era 1990-an hingga 2000-an awal. Andy mengamati, potensi teknologi digital dahulu belum terbayangkan akan dapat memajukan industri musik nasional seperti sekarang.
Kala itu, agar eksis dan dikenal publik, setiap band atau penyanyi bertumpu pada intensitas tampil dalam siaran televisi dan dinaungi label rekaman besar.
“Tidak hanya harus ke label, (tapi juga) harus tampil di TV, harus play di radio,” ucap Andy, seperti dikutip dari Grid.ID.
Namun, vokalis grup musik /rif itu mengingatkan pentingnya profesionalitas dalam bermusik sebagai modal utama berkarya. Sebab, dia khawatir, keunggulan teknologi digital dan sarana komunikasi rentan membuat musisi baru mengalami star syndrome.
“Saya salut. Kesempatan mereka (musisi muda) untuk menjual karyanya pun sangat luas, sekarang terbuka. Tapi tetap, kualitas harus dipikirkan,” lanjutnya.
“Hanya karena kemudahan teknologi, jangan membuat anak yang baru bisa bermusik langsung berpikir sudah bisa menjadi musisi besar.”
Nah, gimana menurut kamu, Sob? Setuju dengan pendapat Kak Andy /rif?