Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terbaru menimbulkan polemik di masyarakat. Pasalnya, draf rancangan pasal 154 ayat (3) tersebut memuat rencana yang akan samakan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif. Hmm, mengapa begitu ya, Sob?
“Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat berupa: (a) narkotika; (b) psikotropika; (c) minuman beralkohol; (d) hasil tembakau; dan (e) hasil pengolahan zat adiktif lainnya,” tulis draf rancangan aturan tersebut.
Sontak hal ini membuat gaduh di masyarakat dan mendapat penolakan. Lalu sebenarnya apa sih alasan pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memasukkan produk tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair disejajarkan dengan narkotika dan psikotropika?
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Eva Susanti, mengemukakan, Kemenkes menilai mengonsumsi rokok elektronik rentan terjerumus melakukan tindakan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza).
“Penyalahgunaan narkoba melalui rokok elektronik sudah pernah terjadi. Data Badan Narkotika Nasional, ada orang yang memasukkan narkotika itu ke dalam rokok,” kata Eva, Jumat (14/4/2023), melansir Antara.

Lebih lanjut Eva memberikan contoh, berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, 90 persen penyalahgunaan napza dengan perantara nikotin dimulai dari merokok.
“Jadi, mudah sekali orang membuat anak-anak kehilangan masa depan, kehilangan harapan, kehilangan umur, dan kehilangan kesempatan. Anak-anak dijadikan target sebagai pasar untuk memasarkan rokok elektronik,” tuturnya.
Bisa Timbulkan Masalah Baru dan Kerugian Masyarakat
Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menanggapi RUU Kesehatan terbaru ini bisa menimbulkan polemik baru, yaitu multitafsir di masyarakat lantaran menyejajarkan produk legal dan ilegal dalam satu kategori.
“Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945, serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat,” katanya.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Aris Arif Mundayat menjelaskan, RUU ini dapat memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen produk tembakau.
“Konsumen dan produk tembakau bisa tidak terlindungi secara konstitusional. Bahkan petani tembakau dapat kehilangan komoditas tembakau jika dipersepsikan sama dengan narkoba oleh aparat hukum. Perlindungan konstitusional mestinya harus jelas dan tegas agar tidak ada yang dirugikan,” ujarnya.
Industri Tembakau Paling Terdampak
Seperti pendapat para pakar tersebut, bila RUU ini disahkan, tentu yang paling terdampak adalah ekosistem industri hasil tembakau (IHT) nasional.

Dari petani, pekerja di pabrik rokok, hingga konsumen bisa menghadapi konsekuensi hukum yang serius. Selain itu, tentu saja, RUU ini bisa mematikan mata pencaharian para pelaku industri tembakau yang mendapat label sebagai pelaku kriminal layaknya para penanam ganja, pemakai, atau bahkan pengedar narkoba.
Padahal, industri tembakau tahun lalu turut menyumbang angka Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan pertumbuhan positif mencapai 5,64 persen (per tahun). Lebih lanjut, berdasarkan hasil studi Universitas Airlangga, pada 2022, kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) industri tembakau kepada perekonomian negara mencapai Rp710,3 triliun dari aspek hulu hingga hilir.
Industri tembakau juga sebagai salah satu penopang perekonomian nasional pada masa pandemi Covid-19 dan pemulihannya. Sektor ini pun menyerap tenaga kerja cukup banyak. Senyatanya, RUU Kesehatan terbaru bisa berdampak pada nasib 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel, juga 1,5 juta petani cengkih dan 600 ribu karyawan perusahaan rokok di Tanah Air.
Dari situ, tentu pembahasan RUU ini memerlukan sudut pandang dari beragam segi ya, Sob. Mudah-mudahan hasilnya dapat memberi manfaat berimbang bagi banyak pihak.