Semua orang tahu karakter Sinterklas, namun apakah semua orang mengetahui tokoh Pit Hitam yang selalu nangkring di sebelah Sinterklas? Nope, tidak semua warga negara mengetahui tokoh tersebut, Sob. Pit Hitam yang juga dikenal dengan Zwarte Piet ini hanya muncul di beberapa negara. Sebut saja Indonesia, Luxembourg, Belgia, Suriname dan Belanda.
Karakter Pit Hitam pertama kali muncul pada tahun 1850 dalam dongeng yang ditulis oleh guru Amsterdam, Jan Schenkman. Sementara Indonesia mengenal sosok ini saat kolonialisme Belanda, Sob.
Di Belanda tempat asal mula tradisi Sinterklas, Pit Hitam dikenal sebagai asisten Sinterklas waktu membagikan hadiah ke anak-anak melalui cerobong asap. Selain menulis daftar anak-anak yang baik dan nakal di dalam catatan Sinterklaas, ia juga bertugas untuk menegur serta menjewer bocah nakal. Hal inilah yang membuat anak-anak merasa takut dengan karakter Zwarte Piet.
Dengan wujud berkulit hitam, berambut keriting, dan berbibir tebal serta merah, tampilan Pit Hitam bagi anak-anak nampak menyeramkan. Apalagi tokoh tersebut akan membawa anak yang nakal ke Spanyol dan menjadikan mereka sebagai pemetik jeruk, bikin anak-anak otomatis ketakutan dengan sosok ini.
Zwarte Piet:Simbol Rasisme dan Kolonialisme?
Walau sosoknya bagaikan sidekick yang menghibur, tetapi keberadaan karakter ini rupanya dianggap sebagai simbol rasisme dan kolonialisme Belanda, Sob. Beberapa pihak menilai karakter tersebut mencerminkan stereotip rasis tentang orang kulit hitam; bermartabat rendah karena mau diperintah, dan berperilaku konyol hingga bodoh.
Dilansir laman Historiek, karakter ini juga dianggap mewakili masa kelam kolonialisme; saat orang-orang Belanda ikut andil dalam perdagangan budak trans-Atlantik, dan menjajah Suriname serta Antillen Belanda di sekitar kawasan Karibia.
Memangnya sejak kapan, sih, kontroversi kehadiran karakter ini muncul di masyarakat?
Dikutip Volkskrant, salah satu arsip paling lawas tentang karakter tersebut ditemukan dalam buku cerita anak-anak tahun 1850 bertajuk Sint Nikolaas en zijn knecht atau dalam bahasa Indonesia adalah Saint Nicholas dan pembantunya. Buku tersebut merupakan karya dari mantan guru sekolah bernama Jan Schenkman. Tokoh yang disebut dengan ‘pembantu’ tersebut nampak mendampingi aktivitas Sinterklaas bersama anak-anak.
Izalina Tavares dalam penelitian bertajuk Black Pete: Analyzing a Racialized Dutch Tradition Through the History of Western Creations of Stereotypes of Black Peoples (2004) menjelaskan kalau karakter Pit Hitam terinspirasi dari lukisan orang-orang Moor sejak abad ke-17. Ada pula yang menduga ia adalah Piter, budak asal Etiopia yang kabarnya pernah dibeli serta dibebaskan oleh St. Nicholas.
Tavares juga menerangkan kalau unsur ‘hitam’ dalam karakter tersebut baru muncul setelah Belanda terlibat perdagangan budak trans-Atlantik pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19. Ia juga menerangkan kalau nama Zwarte Pit baru muncul dalam buku cerita anak-anak sejak 1891—tiga dekade selepas Belanda mengakhiri praktik perbudakan.
Menurut Tavares, Pit Hitam nggak punya otonomi. Alih-alih hubungannya setara, Sinterklaas lebih tepat disebut bos alias pemiliknya, Sob. Sinterklaas duduk di kursi, Pit Hitam selalu berdiri. Ketika Sinterklaas berjalan, Pit Hitam yang membawakan karung goni berisi kado.
Bahkan sampai Perang Dunia II, karakter tersebut masih memiliki image kalau tugasnya adalah menakut-nakuti dan menghukum anak-anak nakal lalu memboyongnya ke Spanyol. Bahkan karakter tersebut berubah menjadi konyol, kekanak-kanakan, dan seperti badut.
Dilansir laman Historiek, Jop Euwijk dan Frank Rensen memberikan beberapa contoh kejadian awal bagaimana karakter Pit Hitam mulai dianggap rasisme. Satu, kejadian tahun 1927 ketika seorang laki-laki kulit hitam diadili di Rotterdam. Ia kemudian membela diri karena dituduh memukul seorang buruh pelabuhan gara-gara mendapat kekerasan verbal. Ia juga mengatakan kalau orang-orang kulit hitam di Belanda terus dipanggil Pit Hitam.
Lalu pada tahun 1939, seorang guru kulit hitam sempat ditegur oleh orangtua siswa gegara naik trem yang sama di daerah Sittard. Alasannya sepele; karena anaknya menangis setelah melihat Pit Hitam di situ. Kemudian pada tahun 1956 seorang keturunan Suriname cerita ke koran de Telegraaf, ada anak kecil diperintahkan oleh ibu mereka untuk memanggil orang kulit hitam di bus atau trem dengan sebutan Pit Hitam.
Karena dinilai ofensif, karakter tersebut akhirnya dinilai kontroversial pada beberapa negara. Terlepas dari kontroversinya, semoga Sobat bukan anak yang nakal sehingga dikejar-kejar karakter ini, ya!