Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong percepatan implementasi energi baru terbarukan (EBT) di beberapa sektor, salah satunya adalah sektor transportasi udara. Baru-baru ini pun pemerintah berhasil melakukan uji terbang pesawat CN 235-220 FTB (Flying Test Bed) dengan menggunakan campuran bahan bakar bioavtur 2,4 persen atau J2.4.
Dengan keberhasilan menerbangkan pesawat buatan dalam negeri dengan menggunakan bahan bakar bioavtur ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia. Pasalnya, sejauh ini penggunaan bahan bakar J2.4 sendiri baru bisa digunakan untuk transportasi darat.
“Hari ini melihat sejarah baru, yaitu penerbangan perdana yang menggunakan bahan bakar nabati. Ini sudah kita tunggu selama ini dan sudah dicoba rute Jakarta-Bandung menggunakan pesawat CN 235-200,” ujar Menteri ESDM, Arifin Tasrif seperti dikutip Kompas, pada Rabu (6/10/2021).
Diketahui, pesawat CN 235-200 FTB buatan PT Dirgantara Indonesia ini berhasil terbang di ketinggian 10.000 dan 16.000 kaki. Saat diterbangkan, indikator pesawat yang terdapat di cockpit pun menunjukkan kesamaan performance engine saat menggunakan bahan bakar avtur atau Jet A1.
Namun, untuk target implementasi belum bisa dicapai, dikarenakan kendala dari ketersediaan bioavtur, proses teknologi hingga ke ekonomiannya. Dalam mengembangkan penggunaan bahan bakar terbarukan untuk pesawat terbang ini, pemerintah melibatkan Institut Teknologi Bandung dan PT Pertamina.
Sedangkan untuk pelaksanaan pengembangan bahan bakar bioavtur dilakukan di Unit Treated Distillate Hydrotreating Refinery Unit (RU) IV milik PT Pertamina di Cilacap. Diharapkan, ke depannya pengembangan ini bisa sempurna sehingga maskapai penerbangan domestik dan internasional dapat beralih menggunakan bioavtur.
Sekedar informasi saja, Bioavtur sendiri merupakan bahan bakar pesawat terbang yang berasal dari campuran avtur dengan kelapa sawit. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015.
Di mana setiap bahan bakar jenis avtur wajib untuk mencampurkan bahan bakar nabati dengan persentase 3 persen pada 2020 dan akan naik 5 persen pada 2025. Sebelumnya, produk J2.0 dihasilkan pada 2020 dan rencana kedepan pemerintah menargetkan hingga mencapai J100.