Potensi akibat perubahan iklim yang menimpa dunia dipastikan dapat merugikan Produk Domestik Bruto (PDB) negara di tahun 2024. Angka kerugian pun terbilang cukup fantastis, yakni bisa mencapai Rp115 triliun.
Fenomena perubahan iklim akan berisiko terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan, seperti ketahan pangan, pembangunan kesehatan, infrastruktur dan juga ekosistem. Hal ini disampaikan oleh Perencana Ahli Utama Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, Arifin Rudiyanto dalam seminar online bertema “Penguatan Keuangan Hijau” pada Rabu (8/12/2021).
“Kerugian tersebut dapat ditekan dengan adanya intervensi kebijakan ketahanan iklim, sehingga kerugian ekonomi dapat berkurang menjadi Rp57 triliun,” jelas Arifin.
Untuk mengatasi masalah tersebut, sesuai dengan komitmen negara, Bappenas telah menjadikan Goal No.13 tentang perubahan iklim dari Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai pondasi dari ketiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni pilar ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Upaya penyeimbang ketiga pilar tersebut juga untuk mewujudkan ekonomi hijau yang menjadi bagian penting dalam rencana strategi ekonomi, untuk meningkatkan pertumbuhan dan mengangkat trajectory ekonomi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang, agar kita dapat lepas dari middle income trap sebelum 2024,” lanjutnya.
Selain itu, untuk transisi menuju ekonomi hijau, kebijakan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim akan berperan sebagai instrumental. Keduanya telah ditetapkan sebagai agenda prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dengan menjalankan kebijakan tersebut, diharapkan Indonesia mampu meminimalisir antara perubahan iklim dan lingkungan. Artinya pembangunan dapat dijalankan bersamaan tanpa harus mengorbankan fungsinya satu sama lain.
Arifin Rudiyanto juga menambahkan jika kebijakan kedua cara tersebut telah memiliki strategi dan indikator yang jelas untuk mendukung kesuksesan pencapaian target pembangunan tanpa harus merusak alam akibat perubahan iklim.