Liga Europa 2023 akan membunyikan lagu anthem pemungkasnya di partai final, Rabu (31/5/2023). Keriuhan penonton di Stadion Puskás Aréna di kota Budapest, Hongaria akan menjadi saksi perebutan rekor Liga Europa antara AS Roma dan Sevilla, siapa jadi juaranya?
Sejauh ini, klub asal Spanyol Sevilla telah mengoleksi trofi juara kompetisi kasta kedua di Benua Biru itu sebanyak enam kali (2005/’06, 2006/’07, 2013/’14, 2014/’15, 2015/’16, dan 2019/’20). Tak terkalahkan dalam enam final sebelumnya, Sevilla yang kini diasuh Jose Luis Mendilibar tentu akan lebih optimistis dalam persaingan ini.
Bukan isapan jempol, klub berjuluk Los Nervionenses itu berhasil mencapai final Liga Europa 2023 setelah menyingkirkan tim-tim besar Eropa di fase gugur, yakni PSV, Fenerbahce, Manchester United, dan Juventus.
Di lain pihak, AS Roma dengan warna penanda kebesarannya merah-kuning, sudah siap menantang untuk memutus rekor Sevilla. Benteng pertahanan I Giallorossi yang dikawal Chris Smalling dan Bryan Cristante akan bersiap menjegal para pemain Sevilla.
Sebagai klub dari ibu kota Italia, Roma tak akan menyia-nyiakan kesempatan mencatatkan rekor baru di kompetisi Eropa setelah menumbangkan klub Ludogorets, Feyenoord, dan Bayern Leverkusen.
Catatan prestasi Roma di panggung Eropa memang masih jauh di bawah Sevilla. Roma hanya memenangi Piala Inter-Cities Fairs pada 1960/’61, dan Liga Konferensi Europa pada 2021/’22 setelah mengalahkan Feyenoord 1–0. Selain itu, Roma nyaris menyabet gelar Piala Eropa pada 1983/’84 setelah kalah adu penalti melawan Liverpool. Roma juga hanya mencapai posisi runner-up di Piala UEFA 1990/’91—cikal-bakal Liga Europa—karena kalah agregat melawan Internazionale atau Inter Milan.
Jadi, Sob, inilah hari penentuan itu: Roma dan Mourinho akan berhasil mencetak sejarah, atau Sevilla tetap kokoh sebagai raja Liga Europa?
Sekeping Keberuntungan Bernama Mourinho
Sejak merapat ke markas Olimpico pada musim panas 2021, Jose Mourinho mengembuskan gairah kebangkitan para penggawa Roma. Seakan membangunkan serigala ibu kota yang tertidur, Mourinho tak butuh jeda berlarut-larut untuk mulai menghasilkan prestasi. Setahun kemudian, pada edisi perdana kejuaraan Liga Konferensi Europa 2022, Lorenzo Pellegrini, dkk. berhasil membawa pulang trofi juara berkat tangan dingin Mourinho yang pernah menjuluki dirinya “The Special One”.
“Saya berpikir final ini akan sama seperti final lainnya. Kami ingin membawa pulang trofi kemenangan itu ke rumah,” kata Mourinho, seperti dilansir romapress.net.
Dalam pertandingan semifinal kala menyingkirkan klub asal Belanda Feyenoord, 12 dan 19 Mei lalu, skuad AS Roma tak dalam kondisi sepenuhnya fit untuk mengancam gawang lawan. Sekitar enam pemain utama cedera, sehingga memaksa Mourinho memutar otak untuk menentukan formasi pemainnya.
Kesulitan itu cukup baik disiasati Mourinho untuk meladeni sejumlah duel wajib dan bergengsi. Selain menumpukan permainan secara defensif, dia mengusung pemain muda untuk menyorongkan kapasitas maksimal. Nama Eduardo Bove belakangan santer disebut-sebut lantaran dari gol tunggalnya ke gawang Feye, Il Giallorossi sukses menembus partai puncak.
Sebelum mengantar jadi juara Liga Konferensi Eropa tahun lalu, Mourinho tentu tahu: klub asuhannya sudah 14 tahun nirgelar. Betapa hausnya mereka akan gelar juara. Maka, Mourinho menekankan keutamaan trofi sebagai capaian paling substansial bagi tim sepak bola.
Taktik yang diterapkan Mourinho ditujukan untuk satu maksud: menang dan menjadi juara. Meskipun dipandang tidak populer, strategi Mourinho beberapa kali memberikan hasil riil. Apa saja itu?
-
Pertahanan rendah di sepertiga area
Sejak menangani tim Inggris Chelsea (2004–2005) dan klub Italia Inter Milan (2008–2009), bukan menjadi rahasia lagi jika ide taktik low block diadopsinya. Hal ini terutama kala pertandingan kontra tim yang dominan penguasaan bola (possession). Pertahanan sepertiga rendah inilah yang lantas menjadi ciri khas AS Roma dua tahun belakangan.
Kebanyakan atau hampir semua tim sepak bola kesulitan untuk membongkar pertahanan rendah (low block). Lewat tiga pemain bek tengahnya—Chris Smalling, Roger Ibanez (atau Diego Llorente), dan Gianluca Mancini—Mourinho menaruh harap. Mereka akan dikawal oleh Bryan Cristante bertindak sebagai pemimpin di sektor pelapis gelandang bertahan.
-
Taktik parkir bus
Berkaitan dengan low block, lini belakang Roma cenderung bertahan dengan sistem man marking. Bek tengah terluar Roma (Mancini dan Ibanez) akan mengikuti gelandang serang atau pemain yang berada di ruang antarlini. Pilihan taktik ini selaras dengan pilihan Roma untuk tidak mau menguasai bola.
Serupa dengan leg pertama semifinal perebutan rekor Liga Europa, penguasaan bola Roma terpaut amat rendah dibandingkan Leverkusen. Dengan persentase ball possesion 38% di leg 1 dan 28% di leg 2, Mourinho menerapkan parkir bus bagi Roma.
Parkir bus atau menumpuk pemain untuk bertahan di sepertiga area sendiri dan kotak penalti ini berpatok pada prinsip: tim yang memegang banyak menguasai bola, rentan melakukan kesalahan. Taktik ini terbiasa jadi formasi taktik para pemain AS Roma saat tim lawan berhasil melewati blok depan, sehingga pemain akan menurunkan block press-nya hingga ke kotak penalti.
Di sinilah, Roma mampu mengontrol lawan tanpa memegang bola. Jelas jadi sebuah antitesis yang pragmatis!
-
Counterpress dan bola mati
Serangan Roma bertumpu pada aliran umpan dari sisi sayap dan tengah. Leonardo Spinazzola dan Nicola Zalewsky dari sisi kiri, atau Zeki Celik dan Ola Solbakken dari kanan. Mereka akan menyuplai umpan emas ke lini depan, yang diisi striker Tammy Abraham, Andrea Belloti, yang dapat bergantian dengan Paulo Dybala dan Stephan el-Sharawwy, atau variasi di antara keempatnya.
Dari sektor tengah, umumnya berlaku lewat umpan jauh (longball) dari area belakang ke depan. Counterpress juga kerap membahayakan gawang lawan, yang sesekali dihiasi merebut balik bola secara agresif selagi lawan menyusun serangan.
Bola-bola mati justru jadi cara lain yang selama ini juga jadi kesempatan bagi para pemain AS Roma menambah poin keunggulan atas tim musuh. Patut diakui, lini depan AS Roma tak semengerikan pada era 2000 hingga 2000-an akhir. Dengan keterbatasan keterampilan individu gelandang atau striker mereka, Lorenzo Pellegrini terbilang cukup mumpuni untuk mengeksekusi bola tendangan bebas ataupun dari titik sudut.
Sobat Akan Tahu, Siapa Jadi Juaranya
Dengan karakter khas taktik ala Mourinho itu, Roma bisa mematahkan rekor yang ingin dilanjutkan oleh Sevilla sebagai pemilik “DNA” Liga Europa. Pada laga final nanti, Mou juga dihadiahi pulihnya Dybala dari cedera dan siap memperkuat daya gedor serangan lini depan Roma.
”Saya tidak khawatir menjadi bagian dari sejarah Roma, tetapi saya hanya membantu para pemain mencapai hal-hal besar dan berkembang, serta membantu para penggemar Roma yang telah memberikan saya begitu banyak hal sejak hari pertama,” ungkap Mourinho dilansir Asroma.com.
Namun, bukan tak mungkin kecenderungan taktik dan pola cenderung bertahan itu sudah telanjur mudah dibaca lawan. Bukan hal sukar bagi Sevilla untuk meladeni permainan dengan strategi lain untuk dapat menjebol kerapian atau kedisiplinan barisan pertahanan AS Roma.
Dalam dua pertandingan mutakhir yang dijalani di Liga Serie A Italia, sesungguhnya ketahanan pemain belakang Roma bukanlah pejantan yang teramat tangguh. Bagai tetesan atau derai empas ombak, bisa saja pertahanan Roma akan terkikis di satu momen. Seperti tampak saat duel di kandang Fiorentina, Sabtu pekan lalu (27/5/2023), kubu Serigala Ibu Kota akhirnya harus keok 2 –1 setelah gempuran demi gempuran pemain La Viola.
Namun faktor di atas masih harus dibuktikan dengan menyimak seberapa besar kehadiran dukungan penonton di bangku Stadion Puskás Aréna mempengaruhi hasrat pemain AS Roma untuk menang. Akankah “lagu kebangsaan” Roma Roma Roma berkumandang melengkapi kebahagiaan mereka dalam perebutan rekor Liga Europa 2023?
Kamu dukung siapa kali ini, Sob? Raja Europa dari klub Spanyol, atau jawara baru dari Italia?