Pada awal September 2022, seorang nakes asal Indonesia membagikan video melalui akun TikTok @iikarahma mengenai ciri-ciri gejala depresi. Video tersebut kemudian viral dan menjadi buah bibir bagi netizen. Dalam video tersebut, si nakes menyebutkan bahwa ciri-ciri depresi ringan ditandai dengan munculnya mood yang mudah berubah, malas mandi, jadi pelupa, sulit konsentrasi, rebahan seharian tapi sulit tidur, dan lebih introver.
@iikarahma Membalas @iikarahma🌼 ♬ suara asli - iikarahma🌼
Sontak, video tersebut ‘banjir’ komentar, beberapa mengamini bahwa dirinya mengalami ciri-ciri yang dikatakan oleh nakes tersebut, beberapa lagi mewaspadai bahaya dari self-diagnose. Yap, self-diagnose atau mendiagnosa diri sendiri tanpa arahan dan ketentuan dari pihak medis.
Faktanya mendiagnosis seseorang terhadap depresi tuh nggak mudah, loh, Sobat. Diperlukan pemeriksaan hingga berbagai tahap untuk memvonis seseorang terkena depresi. Hal yang paling penting, nih, diagnosis itu hanya bisa dilakukan oleh pihak berwenang seperti psikiater.
Penderita Depresi Meningkat saat Pandemi
Berbicara mengenai depresi yang berkaitan dengan kesehatan mental, rupanya pembahasan ini makin disadari ketika masa pandemi COVID-19 yakni tiga tahun belakangan. Diketahui, kasus gangguan jiwa dan depresi di Indonesia mengalami peningkatan hingga mencapai 6,5 persen. Hal ini dikatakan oleh Plt Dirjen P2P Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu saat menghadiri acara peringatan kesehatan jiwa pada 2021 lalu.
“Dampak pandemi angka gangguan mental dan depresi mengalami peningkatan mencapai 6,5 persen secara nasional,” katanya.
Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan jiwa mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Dampak Kesehatan Mental yang Bisa Berujung pada Tindakan Bunuh Diri
Sementara itu, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sistem Registrasi Sampel yang digunakan Badan Litbangkes tahun 2016 diketahui bahwa data bunuh diri pertahunnya bisa mencapai 1.800 orang. Hal ini sama saja seperti setiap harinya ada kurang lebih 5 orang yang melakukan bunuh diri.
Mirisnya dari data tersebut menunjukkan kalau 47,7% korban bunuh diri rata-rata berada di kisaran usia 10 – 39 tahun yakni usia remaja dan sedang masa produktif.
Bahkan menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Dr. Celestinus Eigya Munthe menerangkan bahwa 1 dari 5 penduduk atau sekitar 20% populasi di Indonesia diperkirakan memiliki potensi masalah gangguan jiwa.
“Ini masalah yang sangat tinggi karena 20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa,” tuturnya.
Dari data-data yang telah dipaparkan tadi, kita jadi tahu bahwa kesehatan mental menjadi isu penting di Indonesia. Mengingat penderita gangguan jiwa mental emosional, depresi hingga keinginan bunuh diri rupanya banyak dialami oleh generasi muda.
Isu Kesehatan Mental di Dunia Kerja
Depresi atau gangguan mengenai kesehatan mental tak melulu perihal putus cinta atau ditinggal meninggal seseorang. Gangguan kesehatan mental tak sesederhana itu, ia begitu rumit dan bisa terjadi berbagai kalangan. Salah satunya adalah pekerja.
Yap, seseorang pekerja juga rentan terkena gangguan kesehatan mental di dunia kerja. Walau beberapa perusahaan atau lingkungan kerja sudah mulai aware dengan kesehatan mental melalui penerapan work life balance, namun isu ini masih tabu.
Menurut data yang diperoleh menunjukkan nyatanya 20% depresi dapat mengganggu pekerja dalam menyelesaikan tugas pekerjaan fisik, dan 35% dapat mengurangi kinerja kognitif. Sementara itu, hanya 57% pekerja yang dilaporkan mengalami depresi sedang, sedangkan 40% lainnya alami depresi berat dan menerima untuk perawatan dalam mengendalikan gejala depresi.
Data data tersebut membuktikan bahwa gangguan kesehatan mental di dunia kerja dapat dialami oleh pekerja. Depresi pada seorang karyawan rupanya dapat berpengaruh pula pada produktivitas. Adapun beberapa faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental pekerja di kantor adalah sebagai berikut:
1. Hubungan dengan Atasan
Faktor pertama yang paling sering terjadi adalah adanya kendala pada hubungan dengan atasan. Salah satu contonnya adalah miss komunikasi antara pekerja dengan atasan.
Oleh sebab itu, komunikasi terbuka dua arah dan tidak manipulatif adalah hal yang penting. Jika komunikasi terjadi hanya satu arah, misal, hanya sebuah perintah semena-mena, bisa dipastikan seorang karyawan akan mudah jengah.
2. Beban Kerja yang Berlebihan
Terkadang perusahaan seringkali memberikan beban kerja di luar kapasitas manusia sehingga menyebabkan jam kerja yang terlampaui lama dan pekerja merasakan tekanan yang terus-menerus.
Alhasil, rutinitas seperti ini menyebabkan tingkat stres pada pekerja dan dapat berpengaruh juga pada kesehatan fisik pekerja. Maka dari itu, work life balance sangat dianjurkan agar kesehatan fisik maupun mental bagi pekerja tetap terjaga.
3. Konflik dengan Rekan Kerja
Adanya masalah dengan rekan kerja bisa menjadi pemicu gangguan kesehatan mental di dunia kerja. Terkadang, pekerja harus saling berhubungan dengan pekerja lainnya yang mungkin sulit diajak bekerja sama. Dampaknya tentu dapat menghambat pekerjaan.
Lagi-lagi, komunikasi antar dua arah perlu dilakukan agar pekerjaan bisa berjalan lancar. Selain itu, dibutuhkan pula leader yang bisa bijak memberikan arahan serta solusi bagi karyawan agar bisa mendapatkan titik temu.
Begitu besar peran kesehatan mental di dunia kerja, namun sayangnya masih banyak orang yang belum memahami hal ini. Jika pun kalian menyadari betul pentingnya kesehatan mental, jangan sekali-kali melakukan self-diagnose, ya!
Bertepatan dengan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang diperingati setiap 10 September, tim Sampaijauh.com ingin mengingatkan, nih. Jika kamu mengalami kecemasan, keraguan, dan kebingungan yang mengarah kepada kesehatan mental, jangan segan atau malu untuk konsultasi ke ahli medis seperti psikolog atau psikiater. Kamu nggak sendirian, kok, Sob. Semangat selalu, ya!
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.
Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.
Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:
RSJ Amino Gondohutomo Semarang | (024) 6722565
RSJ Marzoeki Mahdi Bogor | (0251) 8324024, 8324025
RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta | (021) 5682841
RSJ Prof Dr Soerojo Magelang | (0293) 363601
RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang | (0341) 423444
Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.