Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (GPJI) Bidang Industri, Investasi, Hak Cipta dan Inovasi, Jony Yuwono meminta para pengusaha jamu di Indonesia untuk mendaftarkan merek produknya di dalam dan luar negeri.
Himbauan ini disampaikan menyusul diajukannya jamu sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WTWB) atau Intangible Cultural Heritage UNESCO oleh Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun ini. Diketahui, masih banyak pengusaha jamu atau produsen obat tradisional di Indonesia terutama yang bergerak di skala kecil dan menengah belum memahami pentingnya pendaftaran merek sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam bisnis.
“Acap kali, mereka mengira bahwa sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah cukup untuk melindungi produk jamu dan obat tradisional mereka,” terang Jony dalam talkshow ‘Perlindungan HKI untuk Produk Jamu dan Obat Tradisional’, Rabu (8/6/2022).
Sebagai pengingat, sertifikat BPOM dan sertifikat merek dagang adalah dua hal yang berbeda. Sertifikat BPOM untuk penjaminan mutu produk, sedangkan sertifikat merek dagang untuk menjamin perlindungan atas kepemilikan produk atau merek dagang.
Berdasarkan laporan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sendiri tercatat, beberapa tahun belakangan sudah mulai ada peningkatan atau kesadaran pengusaha untuk mendaftarkan serta melindungi merek dagangnya. Namun, tidak sedikit juga yang belum memahami pentingnya perlindungan merek dagang.
“Ingat bahwa pengusaha jamu bukan kita sendiri, banyak pengusaha yang memiliki produk dengan merek serupa atau mirip. Semakin cepat semakin baik agar investasi tidak terbuang sia-sia,” tambahnya.
Sekedar informasi saja, pada 2014 kepemilikan jamu telah diklaim berasal dari Malaysia. Agar tidak terjadi kejadian yang serupa, maka diperlukan melindungi produk atau merek dagang dengan mendaftarkan nama produk ke HKI.