Beberapa tahun belakangan thrifting atau berburu barang bekas (pakaian) menjadi kegiatan yang digandrungi oleh anak muda di Indonesia. Bahkan sampai ada yang sampai rela merogoh kantong lebih dalam. Tapi, tahukah Anda jika thrifting telah dilakukan sejak abad ke-19 saat Revolusi Industri di Inggris terjadi?
Pada masa Revolusi Industri tersebut, banyak produsen pakaian atau clothing melakukan produksi massal (Mass Production of Clothing) yang membuat harga pakaian saat itu menjadi anjlok. Padahal, saat ini thrifting atau berburu barang bekas menjadi kegiatan yang digemari anak muda.
Akibatnya, saat harga pakaian di masa Revolusi Industri anjlok, banyak masyarakat di Inggris saat itu menganggap pakaian merupakan barang sekali pakai yang harus segera dibuang. Hasilnya, “sampah” pakaian pun menjadi masalah baru di Inggris.
Melihat banyaknya sampah pakaian yang menumpuk, membuat para imigran mengambil dan memakai pakaian bekas (thrift) tersebut. Alhasil, stigma negatif langsung melekat kepada masyarakat yang menggunakan pakain bekas.
Hingga salah satu media di Amerika Serikat pada 1884 memuat cerita tentang seorang gadis yang terkena cacar air karena menggunakan gaun yang ia beli di sebuah toko pakaian bekas. Stigma negatif tentang barang-barang bekas berangsur menghilang setelah salah satu komunitas agama membuat donasi berupa pakaian-pakaian bekas untuk orang-orang yang membutuhkan.
Kegiatan donasi yang dilakukan pada 1897 di perkampungan bernama Salvage Brigade, London Inggris ini menginspirasi salah satu komunitas serupa di Boston, Amerika Serikat bernama Goodwill yang didirikan pada 1902.
Komunitas Goodwill mengembangkan konsep dengan mempekerjakan orang-orang miskin dan cacat untuk mengumpulkan barang bekas dan memperbaiki barang atau pakaian yang rusak.
Kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Goodwill semakin berkembang menjadi sebuah toko pakaian bekas. Di tahun 1935, Goodwill memiliki kurang lebih 100 toko pakaian bekas yang tersebar di seluruh Amerika Serikat.
Sejak saat itulah, mulai banyak berdiri toko barang bekas dan kegiatan thrifting mulai populer di Amerika Serikat bahkan dunia. Salah satu pelopor thrift store adalah Buffalo Exchange yang berdiri sejak 1970-an. Toko ini banyak menyediakan barang-barang bekas berkualitas untuk dijual belikan serta penukaran barang.
Sedangkan di Indonesia sendiri, thrifting mulai populer di era akhir 80-an dan 90-an di kalangan anak muda, dimana banyak para pemburu pakaian bekas bermerek melakukan thrifting di pasar tradisional hingga pasar modern.
Untuk di wilayah Jakarta, thrifting saat itu banyak dilakukan di Pasar Baroe, Pasar Senen, Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat, Pasar Ular di Jakarta Utara, Kawasan Blok M di Jakarta Selatan, hingga Jatinegara di Jakarta Timur.
Di awal 2000-an, thrifting mulai meredup karena banyaknya clothing lokal dengan kualitas bagus bermunculan. Hingga akhirnya, thrifting mulai kembali menggeliat di Indonesia kurang lebih pada 2015 hingga saat ini.
Thrifting di Indonesia sendiri banyak digemari oleh para penggila dan pelaku fashion. Kegiatan ini disukai karena dianggap memiliki tantangan, kejutan dan sisi kreativitas tersendiri.
Selain itu, untuk thrift (barang bekas) yang beredar banyak yang masih layak pakai dan harga yang terjangkau. Bahkan pembeli, kemungkinan dapat menemukan barang-barang limited edition saat melakukan thrifting. Selain itu, konsep thrifting juga dapat mendukung pengurangan sampah pakaian.
Tetapi, Anda harus ingat, dalam melakukan thrifting Anda harus sabar dan jeli dalam memilih barang. Caranya, lakukan riset thrift store yang akan dikunjungi dengan cara mencari rekomendasi di majalah atau internet serta teman dan kerabat yang gemar thrifting.
Setelah riset dari berbagai thrift store, bandingkan harga barang dari masing-masing toko. Terakhir, jangan lupa selalu mengecek kondisi barang serta kualitasnya, supaya Anda tidak menyesal ketika telah membeli barang tersebut.
Sayangnya saat ini, banyak thrift store menjual thrift dengan harga yang terbilang tinggi, sehingga membuat thrifting ditinggal oleh pembeli dan pemburunya.
Lalu, pantaskah thrift dijual dengan harga mahal?
Dalam hal ini, banyak perdebatan yang terjadi. Biasanya, thrift dengan harga tinggi “dimainkan” oleh para penjual yang menilai jika barang yang dijual merupakan barang limited edition, susah dicari, memiliki sejarah dan berkualitas baik. Hal ini merupakan strategi penjual dalam memainkan psikologi pembeli, sehingga barang yang dijual dapat dihargai cukup mahal.
Selain itu, penjual yang mematok harga thrift tinggi juga menghitung biaya sewa tempat serta biaya promosi.
Mengutip salah satu pendapat perancang busana ternama dari Jakarta, Koko Rudi mengungkapkan jika ia tidak setuju jika barang thrift dijual dengan harga tinggi.
“Enggak setuju (thrift dijual mahal), karena itu kan barang yang sudah lama atau barang bekas, dan jelas banyak resiko buat kita. Kita harus tahu betul kebersihan dalam baju tersebut,” ujar Koko seperti dikutip Kompas.
Koko Rudi juga menilai jika thrift yang mahal biasanya dari brand ternama atau desainer ternama.
“Bisa juga karena baru sekali pakai, namun balik lagi kita harus tahu barang tersebut apakah masih bisa dipakai jangka panjang atau tidak,” tambahnya.
Menurut Sampaijauh, dalam thrifting ketika dipatok harga tinggi oleh penjual atau thrift store itu bukanlah masalah besar. Pasalnya, dengan begitu dapat membantu perekonomian di Indonesia. Namun, seperti yang diberi tahu sebelumnya, ketika Anda ingin melakukan thrifting harus jeli mengetahui thrift yang akan dibeli.
Lalu, bagaimana pendapat Anda?