Nilai tukar rupiah pada Rabu (6/7/2022) pagi tembus di angka Rp15.000-an per dolar Amerika Serikat. Kondisi ini menjadi yang terlemah sejak satu tahun terakhir. Apakah ini menjadi sinyal bahaya bagi langkah rupiah selanjutnya?
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diketahui akibat kondisi global yang diperkirakan mengalami resesi. Hal ini diungkapkan oleh Lukman Leong selaku Analis DCFX kepada salah satu media online di Indonesia.
“Rupiah masih di bawah tekanan dolar AS di tengah kekuatiran resesi global memicu pelepasan aset dan mata uang berisiko,” ujar Lukman Leong.
Selain itu, Lukman menambahkan jika penguatan dolar AS masih ditopang oleh penantian hasil Federal Open Market Committee (FOMC) meeting yang akan diumumkan hari ini, Rabu (6/7/2022).
“Pelaku pasar menantikan risalah pertemuan FOMC dan mengantisipasi sikap hawkish dari The Fed,” tambahnya.
Sekedar informasi saja, tidak hanya Indonesia yang mengalami pelemahan mata uang terhadap dolar AS sebesar 7,5 poin. Beberapa negara Asia pun mengalami pelemahan, seperti peso Filipina melemah 0,51 persen, yuan China melemah 0,29 persen, won Korea Selatan melemah 0,51 persen, ringgit Malaysia melemah 0,10 persen, rupee India melemah 0,53 persen.
Sedangkan yen Jepang menguat 0,37 persen, dolar Singapura menguat 0,13 persen, Australia menguat 0,10 persen dan baht Thailand menguat 0,12 persen.
Negara-negara besar yang terancam resesi ekonomi global antara lain Amerika Serikat, Jerman, Inggris, China, Mongolia, Korea Selatan, hingga Turki. Dalam laporan Global Economic Prospect (GEP) Juni 2022, Bank Dunia menyebutkan tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini pun resesi global diperkirakan mendekati 50 persen, dikarenakan banyak bank sentral terburu-buru menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi yang sebagian didorong oleh dampak perang Ukraina-Rusia dan pandemik Covid-19.
Dengan terjadinya resesi global ini, diperkirakan akan berimbas ke harga-harga kebutuhan pokok manusia. Di Eropa sendiri, banyak para investor berbondong-bondong ke aset safe haven setelah data terbaru menumpuk di tengah kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi global.