Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), memperkirakan jika hampir 50 persen wilayah Indonesia akan mengalami fenomena cuaca kering dari biasanya di musim kemarau 2023.
Menurut Dwikorita Karnawati selaku Kepala BMKG menyebut 327 zona musim atau 46,78 persen berpotensi mengalami kemarau yang lebih kering. Sementara, 327 zona musim lainnya akan mengalami musim kemarau yang normal pada 2023.
“Secara umum musim kemarau ini normal dan ada di bawah normal dan ada di bawah normal, masing-masing sebanyak 327 zona musim,” jelas Dwikorita dalam konferensi pers daring, pada Senin (6/3/2023).
Adapun wilayah yang berpotensi mengalami kemarau yang lebih kering antara lain Aceh bagian utara, sebagian Sumatra Utara, Riau bagian utara, Sumatra bagian selatan, sebagian besar Jawa, Bali.
Untuk wilayah lain yang akan mengalami kemarau yakni, sebagian wilayah Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian Sulawesi, Maluku Utara, Papua Barat bagian selatan, dan Papua bagian selatan.
Indonesia akan Mengalami Kemarau Lebih Basah
Di sisi lain, ada 45 zona musim (6,44 persen) dengan musim kemarau yang lebih basah. Wilayah dengan kondisi ini akan terjadi di Aceh bagian selatan, Sumatra Utara bagian tengah, Sumatra Barat bagian selatan, sebagian kecil Jawa, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat bagian utara.
Dwikorita juga menambahkan jika puncak musim kemarau di Indonesia tidak akan terjadi secara serempak. Hampir setengah wilayah Tanah Air akan mengalami puncak musim kemarau pada Agustus, tetapi beberapa wilayah mengalami puncak kemarau lebih awal pada Juli 2023.
Wilayah-wilayah tersebut meliputi Sumatra Selatan bagian timur, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, sebagian besar pulau Jawa, sebagian Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan sebagian Pulau Sulawesi.
Sedangkan untuk puncak kemarau pada Juli mencakup 186 zona musim atau 26,61 persen wilayah Indonesia.
Terjadinya kemarau yang lebih kering ini terjadi karena Bumi kian memanas akibat peningkatan kadar gas rumah kaca (karbon dioksida, nitrogen dioksida, metana, dan freon) di atmosfer.
Diketahui, kadar gas rumah kaca sendiri prinsipnya memerangkap panas Matahari agar tidak memantul ke luar angkasa. Dalam kondisi lingkungan normal, keberadaan gas ini diperlukan untuk membuat Bumi tetap hangat.
Namun, saat kadarnya berlebih terutama akibat emisi karbon dari kendaraan bermotor dan industri, gas-gas ini memicu peningkatan panas secara global hingga memicu perubahan iklim. Akibatnya, siklus hidrologi yang berubah yang membuat cuaca lebih ekstrim, musim hujan makin basah, musim kemarau makin kering, dan bencana alam makin banyak.