Belum lama ini Kementerian ESDM berencana membatasi izin proyek pembangunan pabrik pemurnian mineral atau smelter nikel kelas II. Langkah ini terkait kebijakan moratorium untuk proses metalurgi. Moratorium adalah kebijakan sementara yang diterapkan untuk menghentikan atau membatasi aktivitas konstruksi atau pembangunan nikel kelas II.
Namun, moratorium izin smelter nikel harus dibahas bersama Kementerian Perindustrian. Ini karena sebagian izin pembangunan smelter di bawah naungan lembaga pemerintah yang mengelola dan mengembangkan sektor industri tambang.
“Kita harus membahasnya dengan perindustrian. Itu kan kebanyakan yang berdiri sendiri kan izinnya di sana,” tutur Arifin.
Pada dasarnya, kebijakan moratorium izin smelter nikel di bawah Kementerian ESDM lewat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) sudah mulai dijalankan.
“Kalau yang minerba kan udah jalan, udah beda lain. Yang low value (bernilai rendah) kita sudah menyetop, lah,” katanya.
Sebelumnya, Arifin juga mengatakan bahwa moratorium ini sangat penting. Kebijakan tersebut berguna untuk mendorong suplai baterai kendaraan listrik (EV) dan menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bijih nikel di Indonesia.
Terutama untuk bijih nikel yang berkarat tinggi (saprolite). Biasanya bijih nikel berkadar tinggi akan digunakan terus-menerus secara masif.
Selain itu, seperti yang kita tahu sisa umur nikel di Indonesia tinggal 6 tahun lagi. Maka dari itu kebijakan ini diciptakan supaya mencegah Indonesia agar nggak berakhir menjadi pengimpor bijih nikel di masa mendatang.
Alhasil dalam waktu terdekat ini pihaknya mulai memberikan evaluasi terhadap pembangunan smelter nikel baru. Menurutnya, Indonesia harus bisa menghasilkan produk nikel bernilai tambah yang besar. Salah satunya dengan memproses bijih nikel hingga produk prekursor katoda sebagai komponen baterai.
“Sementara itu juga industri hilir dalam negeri untuk menampung processing yang punya nilai tambah itu harus banyak ditarik. Kan sudah mulai ada, mudah-mudahan untuk bikin prekursor,” ujarnya.
Di samping itu Arifin menilai, dengan adanya sumber daya nikel yang melimpah di tanah Indonesia semestinya bisa menjadi modal utama untuk melakukan proses hilirisasi yang berkelanjutan.
“Itulah modal utama kita. Dikasih modal utama mineral yang bisa membantu elektrifikasi energi bersih harus kita manfaatkan,” ujarnya.