Mobil listrik atau kendaran listrik lainnya, deh, nampaknya tengah menjadi buah bibir di Indonesia. Melalui PERPRES No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan, pemerintah bahkan mengimbau warga +62 untuk segera beralih ke kendaraan listrik demi lingkungan bersih. Namun, bagaimana jika ternyata mobil listrik bukan solusi lingkungan bersih, baik di Indonesia hingga tataran global?
Mobil listrik memang nggak memproduksi emisi karbon karena tidak menggunakan bensin. Tetapi kamu perlu tahu kalau mobil tersebut juga menghasilkan limbah jenis lainnya. Kira-kira apa saja limbah dari mobil listrik? Simak, deh!
NEE (Non-Exhaust Emission) pada Ban
Emission Analytics atau badan independen spesialis pengujian dan pengukuran efisiensi emisi BBM asal Inggris mengungkap bahwa meskipun mobil listrik tidak memiliki gas buang namun tetap berpotensi menjadi sumber polusi lain yang datang dari penggunaan rem yang berefek pada ban.
Tingkat keausan ban mobil memiliki partikel polusi di udara yang disebut NEE, mencapai 1.000 kali lebih buruk dibanding gas buang dari pita knalpot. NEE dari ban mobil listrik dari keausan ban, rem, dan permukaan jalan selama kendaraan elektrik bergerak tergolong tinggi, yakni sekitar 5,8 gram per kilometer. Angka ini jauh lebih besar dari batas emisi gas buang knalpot yaitu sekitar 4,45 miligram per kilometer dalam standar Eropa.
Mobil listrik juga memiliki arsip penggantian ban yang lebih tinggi dari mobil konvensional yakni sekitar 30%. Apalagi jika ban yang digunakan berkualitas rendah dan cepat aus, maka ban lebih cepat diganti dan NEE yang dirilis semakin tinggi.
Energi di Proses Manufaktur
Guna mengatasi persoalan NEE, sebenarnya sudah banyak produsen EV yang kemudian mulai berinovasi di ban ramah lingkungan. Namun masalah nggak kelar begitu saja! Polusi mobil listrik lainnya juga dapat keluar dari proses manufaktur di pabriknya.
Seperti yang kita ketahui, bahan baku baterai kendaraan listrik salah satunya adalah nikel. Bahkan baru-baru ini juga ditemukan potensial penggunaan Logam Tanah Jarang atau LTJ untuk kendaraan listrik (mengandung lithium nickel cobalt).
Namun ternyata menurut Union of Concerned Scientist mengungkap jutstru keseluruhan pembuatan kendaraan listrik-lah yang paling banyak mengeluarkan emisi karbon.
“Memproduksi EV menghasilkan lebih banyak emisi pemanasan global daripada memproduksi kendaraan berbahan bakar bensin,” ujar UCS.
Hal ini dikarenakan energi dan bahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan baterai EV pun tinggi. Misalnya untuk menambang satu ton lithium, butuh sekitar 500.000 galon (2.273.000 liter) air.
Selain itu banyak pabrik manufaktur di dunia yang masih menggunakan batu bara sebagai bahan energi. Meski lagi-lagi, negara sudah mencari cara untuk menata pabrik manufaktur, yang tak hanya kendaraan listrik namun juga semua industri, untuk beralih menggunakan energi hijau atau energi baru terbarukan (EBT) namun hal ini masih jauh dari realisasinya. Di Indonesia sendiri implementasi EBT baru 12-13% dari target bauran EBT di 2025 mendatang.
Limbah Baterai Listrik
Permasalahan terakhir yang masih menghantui sektor kendaraan listrik yaitu terkait limbah baterai listrik. Saat ini ini charging atau SPKLU di Indoneia dan sistem swap battery sebagai pendukung ekosistem industri EV juga belum banyak.
Baterai Lithium Ion tidak seperti baterai konvensional yang masih bisa didaur ulang. Sebab, baterai tersebut punya campuran komponen kimia spesifik sehingga sukar didaur ulang. FYI, daur ulang baterai listrik tidak sama dengan baterai timbal-asam yang biasa kita temukan.
Hanya ada sekitar 5% baterai Lithium Ion yang didaur ulang secara global, artinya kebanyakan baterai ini akan menjadi sampah. Industri daur ulang baterai EV pun memang sangat dibutuhkan saat ini.
Limbah dari baterai kendaraan listrik sebetulnya masih punya masa hidup meskipun sudah tidak bisa digunakan. Proses daur ulang akan mengambil kembali logam berharga seperti kobalt, aluminium, mangan, dan lithium. Tapi sekali lagi, industri daur ulang baterai EV belum terbangun, Sob.
Walau kampanye transisi beralih ke kendaraan listrik ada di mana-mana, namun nyatanya mobil listrik (masih) bukan solusi terbaik dari lingkungan bersih. Tapi bisa jadi, ke depannya bakal ada produsen atau teknologi terbarukan yang membuat kendaraan listrik lebih ramah bagi lingkungan, Sob.