Dalam rangka merayakan HUT KAHMI ke-57, Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) baru-baru ini menggelar Simposium Sertifikasi Halal Food di Hotel Grand Kemang, tepatnya pada Rabu (27/9/2023).
Mengangkat tema ‘Optimalisasi Peran dan Fungsi Sertifikasi Halal Food di Indonesia’, KAHMI ingin posisinya fokus ke agenda-agenda yang strategis. Salah satunya, kembali ke khittahnya dengan membangun entrepreneur umat.
“Saya ingin menitikberatkan bahwa posisi KAHMI ini harus kembali ke khittah saja, jalan keumatan, jalan kebangsaan, jalan ke-Indonesiaan. Kita harus mengambil jalan tengah pemberdayaan umat, ekonomi umat, membangun entrepreneur umat. KAHMI harus ambil peran-peran strategis itu,” jelas Rudi Sahabuddin selaku Koordinator Simposium dan Seminar melalui keterangan resmi, pada Jumat (29/9/2023).
Dengan populasi muslim terbesar di Indonesia, Rudi pun yakin dapat mengambil peran-peran strategis dan tidak hanya berada di posisi market saja. Diketahui, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan negara Timur Tengah saat ini mengambil peran strategis di bidang makanan halal.
Selain itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka, sangat mengapresiasi event besar yang digelar oleh MN KAHMI. Ia pun mendukung keinginan KAHMI dalam mewujudkan Indonesia mengambil peran strategis di bidang produk-produk halal.
Adapun, peran strategis yang harus dilakukan pemerintah Indonesia tidak hanya fokus di produk makanan halal saja, melainkan rumah potong hewan, mulai dari ayam, kambing, hingga sapi.
Diah Pitaloka menjelaskan bahwa saat ini BPJPH (Badan Penjamin Produk Halal) kurang lebih mempunyai kuota 1 juta untuk UMKM di Indonesia. Kuota tersebut akan melalui pendekatan self declare di produk halal.
Sehingga, UMKM tidak selalu perlu melalui laboratorium, misalnya keripik singkong, bisa self declare bahwa keripik singkong ini tidak mengandung bahan-bahan yang menyangkut bahan-bahan atau bumbu-bumbu tidak halal.
Di sisi lain, Staf Khusus Wakil Presiden RI, Masykuri Abdillah melihat bahwa Indonesia perlu menunjukkan posisi jika penduduk di Tanah Air mayoritas muslim, sehingga harus dapat memproduksi barang halal ke luar negeri lebih banyak lagi, khususnya ke negara-negara muslim lainnya.
“Ini sudah dinyatakan sebenarnya di dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014. Jadi, kita baru 9 tahun melaksanakan itu, oleh karena itu bisa jadi kita masih tertinggal dengan Malaysia. Karena dulu memang sudah ada dilakukan oleh Majelis Ulama tetapi bersifat mandatory, jadi hanya berupa himbauan. Sekarang adalah obligatori yang bersifat wajib,” ujar Masykuri.
Lalu, untuk mewujudkan halal food skala besar di Indonesia, Masykuri menyebut ada tiga faktor yang perlu diperhatikan. Pertama adalah adanya kesadaran umat Islam di Indonesia. Kedua, kesadaran produsen, dan terakhir adanya regulasi.