Beberapa waktu lalu Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO menggelar pertemuan pada 16-31 Juli 2021 di Fuzhou, China. Dalam pertemuan tersebut, WHC “menyentil” beberapa proyek yang sedang dijalankan pemerintah Republik Indonesia, mulai dari Taman Nasional Komodo hingga proyek Trans Papua yang melewati Taman Nasional Lorentz yang banyak dikelilingi oleh pepohonan jenis Nothofagus atau Beech Selatan.
Tercatat, dalam dokumen yang diterangkan WHC UNESCO menyatakan jika kurang lebih 0,5 persen dari 190 km di Trans Papua (Wamena-Habema-Kenyam) masuk dalam zona rehabilitas tumbuhan jenis Nothofagus atau Beech Selatan yang saat ini sudah terbilang memprihatinkan akibat penebangan dan penanaman liar.
Dari hasil pantauan yang dilakukan sejak 2019 tersebut, terdapat dieback tumbuhan Nothofagus yang ditemukan hingga saat ini. Tumbuhan tersebut memiliki 35 spesies dan semak yang berasal dari daerah oseania sejuk hingga daerah tropis, seperti Indonesia, Chili, Argentina dan Australasia yang meliputi Australia, Tasmania, Selandia Baru, Papua Nugini dan New Caledonia.
Untuk jenis Nothofagus di Indonesia sendiri memiliki sebelas subgenus, antara lain: Nothofagus brassii, Nothofagus carrii, Nothofagus crenata, Nothofagus flaviramea, Notofagus grandis, Nothofagus nuda, Nothofagus, perryi, Nothofagus pseudoresinosa, Nothofagus pullei, Nothofagus resinosa, Nothofagus rubra, Nothofagus starkenborghii, Nothofagus stylosa dan Nothofagus womersleyi.
Dari subgenus tersebut, banyak ditemukan di ketinggian 1.500-3.100 meter di atas permukaan laut. Sayangnya, tumbuhan-tumbuhan tersebut, kini banyak ditebang secara ilegal oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, sehingga merusak lingkungan.
Padahal, selain dapat menjaga lingkungan, kegunaan tumbuhan ini dinilai sangat berguna bagi kehidupan warga di Papua, yakni untuk bercocok tanam dan berburu.
“Anakan Nothofagus kadang ditanam di dekat desa. Kayunya memiliki tekstur keras dan cukup kuat sehingga masyarakat lokal memanfaatkannya untuk membangun rumah, berbagai perkakas dan alat-alat kebutuhan rumah tangga lainnya, serta untuk bahan bakar,” tulis Kartika Sari dalam buku Ekologi Papua seperti dikutip Mongabay.
Tumbuhan yang masuk dalam famili Fagaceae ini sangat memerlukan pasokan air secara teratur dari tanah. Maka dari itu, daun-daun Nothofagus lamban dalam mengeluarkan air dibandingkan dengan tumbuhan lain di zona pegunungan Papua.
Selain itu, catatan Botanic Gardens Conservation International menjelaskan, jika sepertiga spesies tumbuhan Nothofagus dalam risiko kepunahan dan mengakibatkan ekosistem hewan mamalia, burung, amfibi dan reptil di alam liar menurun.
Sekedar informasi saja, Nothofagus sendiri memiliki daun bergerigi atau rata dan memiliki buah berupa kacang kecil, memipih atau segitiga, terbungkus dalam kupula yang terdiri dari 2-7 kacang.
Tumbuhan ini juga banyak digunakan sebagai makanan larva ngengat Hepialidae dari genus Aenetus termasuk A. exima dan A virescens.