Jika Sobat pernah berkunjung ke Jember, ada sebuah patung terbuat dari logam setengah badan menyerupai sosok pejuang mengenakan peci. Terpancang di area Universitas dr. Soebandi, Jember, patung tersebut merupakan bagian dari Museum Letkol dr. R.M. Soebandi. Mari mengenal Letkol dr. R.M. Soebandhi.
Siapakah tokoh yang namanya melekat dengan asma kampus dan museum tersebut? Dia adalah seorang dokter-tentara pada zaman perjuangan kemerdekaan, tepatnya pada masa pendudukan Jepang hingga wafat pada tahun 1950. Letkol dr. R.M. Soebandhi adalah salah satu pejuang yang namanya tengah diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Jember untuk digelari Pahlawan Nasional.
Menurut Dr. dr. Moh. Isman Jusuf dari Bidang Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter PB Ikatan Dokter Indonesia, peran dokter terbilang amat penting dalam masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Beragam kontribusi dokter itu antara lain di meja perundingan, ruang seni dan budaya, serta turut berperang langsung.
“Peran Letkol dr. R.M. Soebandhi tidak hanya di medan perang, tetapi juga tidak melupakan tugas dasar seorang dokter yaitu merawat pasien dan prajurit yang terluka dan sakit,” ucapnya dalam keterangan yang diterima Sampaijauh.com, Rabu (16/8/2023).
Muda, Cerdas, dan Bercita-cita Dokter
Dilahirkan pada 17 Agustus 1917 di Klakah, Lumajang, Soebandhi kecil adalah anak sulung pasangan R. Soeradi Wignjosoekarto, kepala masinis stasiun Klakah, dengan RA. Siti Mariam. Soebandhi menamatkan sekolah Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Lumajang.
Berlatar belakang keluarga ningrat, Soebandhi memperoleh kesempatan pendidikan berkualitas atas izin pemerintah kolonial Belanda. Dia diperbolehkan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Probolinggo dan lulus pada 1935. Selanjutnya Soebandi melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Surabaya lulus tahun 1938.
Soebandhi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Kedua orangtuanya mendukung keinginannya menjadi dokter. Alasannya, pada masa itu dokter masih menjadi pekerjaan langka sehingga bila menjadi tenaga kesehatan akan memudahkan masyarakat mendapat layanan kesehatan secara layak.
Semata-mata ingin mengabdi warga, kehendak Soebandhi mengenyam pendidikan kedokteran tak segera berjalan mulus, Sob. Setelah melanjutkan pendidikan di sekolah kedokteran Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) Surabaya, studinya sempat terhenti. Padahal Soebandhi tinggal menunggu waktu menjelang kelulusan.
Pasalnya, tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia setelah berhasil mengalahkan Hindia Belanda dalam perang Asia Timur Raya. Jepang lalu membubarkan semua lembaga pendidikan bentukan kolonial Belanda, termasuk NIAS, cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Seperti termuat dalam biografinya yang berjudul Letkol dr. RM. Soebandi: Jejak Kapahlawanan Dokter Pejuang (2019) karya Gandhi Wasono dan Priyo Suwarno, Soebandhi sempat frustrasi karena khawatir mimpinya menjadi dokter pupus. Cercah harapannya kembali merekah ketika awal tahun 1943 Jepang membuka sekolah tinggi kedokteran Ika Daigaku di Jakarta menggantikan STOVIA yang dibubarkan. Sobat bisa membaca biografi ini untuk mengenal lebih jauh sosok Soebandhi.
Dia bergegas ke Jakarta melanjutkan kuliah hingga akhirnya pada 12 November 1943 dinyatakan lulus sebagai dokter.
Ideologi Tanpa Pamrih
Selama berada di Jakarta itulah, jiwa nasionalisme Soebandhi melonjak. Bertempat tinggal di asrama mahasiswa Ika Daigaku di Jl. Prapatan 10, Soebandhi tersentuh oleh ideologi yang tumbuh di kalangan para aktivis kemerdekaan. Di situlah, mereka yang menyebut diri sebagai Mahasiswa Prapatan 10 menganut “ideologi tanpa pamrih” (reine jurgend ideologie) yang anti-kezaliman dan perongrongan. Mereka menentang perilaku menginjak-injak hak asasi rakyat.
Di kemudian hari, mengenal Soebandhi akan dilekatkan dengan Mahasiswa Prapatan 10. Ia menjadi salah satu kelompok yang aktif mendorong Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Mengenal Letkol Soebandhi tak bisa lepas dari garis perjuangannya yang terukir selepas dia lulus pendidikan dokter. Dia kembali ke Jawa Timur lalu terjun di dunia militer dengan mengikuti pendidikan tentara PETA bentukan Jepang. Dia lulus sebagai Eise Shodanco atau Perwira Kesehatan Batalyon dan ditempatkan di Lumajang. Setahun kemudian pangkatnya naik menjadi Eise Chudanco dan menjabat Kepala Kesehatan seluruh batalyon PETA di Karesidenan Malang.
Pada 1945 setelah Jepang kalah perang, PETA dibubarkan. Letkol dr. R.M. Soebandhi beralih menjadi dokter tentara di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas di berbagai rumah sakit, mencakup Probolinggo, Lumajang, dan Malang. Tahun 1946, berdiri Rumah Sakit Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) Jember—kini dikenal sebagai RS. Baladhika Husada. Rumah sakit ini pertama kali dikepalai oleh dr. Soebandhi.
Di samping selaku tenaga medis, jejak pengabdian dr. Soebandhi juga menetas di medan pertempuran. Tidak hanya Jawa Timur, tenaganya sangat dibutuhkan di kawasan Jawa Barat. Dia lantas bergabung dengan kesatuan lain ketika berperang dengan pasukan sekutu.
Setelah bertugas di berbagai kesatuan, pada Desember 1948 Letkol dr. R.M. Soebandhi ditugaskan sebagai wakil komandan Brigade III Damarwulan mendampingi Komandan Letkol Mochamad Sroedji. Dr. Soebandhi merangkap Residen Militer Besuki dan dokter militer.
Letkol dr. R.M. Soebandhi wafat dalam pertempuran Agresi Militer Kedua Belanda pada 1949. Namun jasadnya baru diketemukan dan teridentifikasi pada 23 Maret 1950. Atas prakarsa masyarakat Desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember, sekitar tahun 1980-an didirikan monumen untuk mengenang para pahlawan yang gugur di lokasi pertempuran.
Seluruh hidup dr. Soebandhi diberikan untuk republik. Dia meninggalkan kemapanan, istri, dan anak-anaknya demi kemerdekaan dari tangan penjajah.
Sobat bisa mengenal nama Soebandhi yang diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Daerah Jember, jalan, dan perguruan tinggi di Jember. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya dalam perang kemerdekaan RI, ada juga museum berisi barang-barang peninggalan Letkol dr. R.M. Soebandhi dimaksudkan agar perjuangan beliau terus lestari dan menjadi inspirasi generasi mendatang.