Sampah, masih menjadi permasalahan lingkungan terbesar yang kerap ditemui manusia sehari-hari. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia, pada 2021 masyarakat bisa menghasilkan 21,45 juta ton sampah. Banyaknya produksi sampah membuat masyarakat harus mengenal ekonomi sirkular.
Secara konsep, ekonomi sirkular adalah suatu prinsip untuk membuat sebuah produk yang seminimal mungkin tidak menyakiti bumi dan malah memberikan nilai ekonomi dan manfaat yang besar kepada masyarakat.
Maka dari itu, pola pikir masyarakat pun harus diubah dari Reduce-Reuse-Recycle menjadi 9R (Refuse-Rethink-Reduce-Reuse-Repair-Refurbish-Remanufacture-Repurpose-Recycle–Recovery)
Tentunya hal ini harus segera diedukasikan kepada masyarakat Indonesia. Pasalnya, dari jutaan ton sampah tersebut, 37,3% berasal dari aktivitas rumah tangga. 16,4% dari pasar tradisional dan sampah dari kawasan sebanyak 15,9%.
Adapun produk sampah terbesar dari rumah tangga berasal dari sisa makanan, sampah plastik, kayu, kertas dan sampah lainnya.
Dan ekonomi sirkular sudah masuk dalam fokus serta target yang akan dilangsungkan di tingkat nasional. Tentunya kesuksesan konsep ekonomi sirkular memerlukan dukungan dari semua pihak termasuk dari lintas sektoral.
Diharapkan juga, masyarakat jangan hanya mengenal dan memahami ekonomi sirkular sebagai pengelolaan limbah saja. Namun, harus berorientasi pada proses produksi yang menggunakan bahan baku dari limbah tersebut. Tentunya selain alam lestari, hal ini bisa memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat dan negara.
Menko Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto mengungkap bahwa ke depannya ekonomi sirkular menjadi agenda jangka panjang yang juga digunakan sebagai upaya pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
“Semangat ekonomi sirkular sudah dipahami oleh banyak elemen dan pemangku kepentingan dan bisa diturunkan menjadi strategi nasional. Tentu hal ini memerlukan proses yang lebih lama dari 1 tahun,” kata Airlangga.
Penerapan Ekonomi Sirkular di Industri
Penerapan konsep ekonomi sirkular, tentunya bukan hanya soal limbah rumah tangga namun juga dalam proses produksi, distribusi dan konsumsinya dari hulu ke hilir rantai pasok.
Penerapan ekonomi sirkular, dikatakan akan menaungi lima sektor prioritas, yaitu makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan perdagangan eceran/retail (terfokus pada kemasan plastik), serta peralatan listrik dan elektronik.
Terutama pada industri tekstil atau fesyen sebagai industri hilir. Industri ini diketahui juga banyak menyumbang limbah. Baik limbah dari hasil proses produksi maupun limbah fesyen yang dibuang masyarakat ketika sudah tidak terpakai.
Maka dari itu, industri fesyen juga mulai mengadaptasi fesyen sirkular yaitu produk mode yang dirancang, bersumber, diproduksi, dan dilengkapi dengan tujuan memperpanjang manfaat dari sebuah rantai produksi dan konsumsi sehingga bisa menggunakan sumber daya dengan lebih efisien (resource efficiency).
Tentunya implementasi fesyen sirkular bertujuan untuk membuat masyarakat sadar terhadap limbah fesyen dan juga bagi sektor industri agar lebih meminimalisir limbah dan polusi dari proses produksinya.
Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto mengatakan, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga. (Data SIPSN KLHK per tahun 2021)
“Kontribusi limbah rumah tangga terhadap komposisi sampah keseluruhan mencapai 42,12 persen . Namun dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang,” kata Arifin melalui siaran pers, Rabu (23/2/2022).
Yang Bisa Dilakukan Demi Sukseskan Fesyen Sirkular
Lalu apa saja yang bisa dilakukan untuk mewujudkan fesyen sirkular yang merupakan bagian dari ekonomi sirkular?
Dari sisi industri, bisa melakukan pemilihan bahan untuk produk mode, serta melakukan proses produksi yang lebih ramah lingkungan. Bila memilih material yang kualitasnya lebih baik, maka akan berdampak pada perpanjangan usia pakai pakaian.
Karena semakin lama usia pakai pakaian, maka produksi pakaian tidak akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga hal ini bisa meminimalisir pencemaran lingkungan. Pasalnya dari proses pengolahan dan pewarna pada produk tekstil saja bisa mencemari 20 persen air di kawasan industri.
Ya, limbah tekstil tersebut mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan arsenik. Ditambah lagi limbah rumah tangga seperti sampah organik dari sisa-sisa makanan, sampah anorganik seperti plastik dan kaleng, serta bahan kimia dari deterjen dan batu baterai yang membahayakan kehidupan makhluk hidup dalam air maupun masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air.