Siapa di sini yang belum mengenal bapak seni rupa modern Indonesia? Sindoedarsono Soedjojono atau yang kerap dipanggil “Djon” dikenal sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia”. Julukan tersebut pertama kali dikumandangkan oleh Trisno Sumardjo pada 8 Oktober 1949 (Mimbar Indonesia, No.41) dalam artikelnya yang berjudul “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru”.
Sindoedarsono Soedjojono diakui sebagai bapak seni rupa modern Indonesia melalui lukisan dan tulisannya. Ia juga diakui sebagai perintis wacana seni rupa modern tersebut. Dalam pemikiran dan praktik seni rupa modern di Indonesia, Pak Djon menyemaikan benih kesadaran keindonesiaan.
Julukan itu diberikan kepada Sudjojono karena ia adalah seniman pertama Indonesia yang memperkenalkan modernitas seni rupa Indonesia dengan konteks kondisi faktual bangsa Indonesia. Dalam karyanya ia biasa menulis namanya dengan “S. Sudjojono”.
Djon sempat menjadi guru di Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di perguruan yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Namun, ia memutuskan untuk menjadi pelukis, ia ikut pameran bersama pelukis Eropa di Bataviasche Kunstkring, Jakarta pada 1937. Itulah awal namanya dikenal sebagai pelukis. Lalu pada tahun yang sama ia menjadi pionir dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).
Dengan hal itu, Djon pun dikenal sebagai tonggak awal seni lukis modern berciri Indonesia. Selain sebagai pelukis, Djon juga dikenal sebagai kritikus seni rupa pertama di Indonesia.
Lukisan karya S. Soedjojono dikenal memiliki ciri khas kasar, goresan, dan sapuan kuas bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek karyanya lebih menonjol kepada kondisi faktual bangsa Indonesia dan diekspresikan secara jujur dan apa adanya ke dalam bentuk lukisan.
Dikenal sebagai seorang kritikus seni rupa, tak jarang Djono dianggap memiliki jiwa nasionalis yang tinggi. Hal itu terlihat dari kritikannya pada lukisan-lukisan Basoeki Abdullah hanya bernuansakan keindahan alam Indonesia dan sebatas pemuas pesanan pasar para turis.
Ia pernah bergabung bersama Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) berdasarkan jiwa nasionalisnya yang tinggi pada awal tahun 50-an.
Karya terbesarnya ialah melukis penyerangan Sultan Agung ke Batavia pada 1974. Lukisan itu diketahui berukuran raksasa, yakni 10 x 8 meter persegi.
Berjudul ”Pertempuran antara Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen”, lukisan tersebut merupakan dipesan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, sebagai bagian dari peresmian Museum Fatahillah di tahun 1974.
Djono bahkan sampai pergi ke Belanda untuk memastikan bagaimana bentuk baju prajurit Belanda dan muka JP Coen. Djono hanya membutuhkan waktu selama satu tahun untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Betapa bangganya Indonesia memiliki bapak seni lukis sepertinya.