Selamat Hari Film Nasional! Yap, setiap akhir Maret jadi peringatan “hari besar”-nya pekerja film Tanah Air. Sobat tahu nggak, mengapa peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret? Disusun dari beragam sumber, Sampaijauh.com kasih kamu ringkasan sejarahnya.
Pembicaraan menyoal rencana penetapan Hari Film Nasional (HFN) telah dilakukan melalui rapat dalam “Musyawarah Film Indonesia” yang dilaksanakan pada 11 Oktober 1962 di Wisma Nusantara, Jakarta. Waktu itu, produser film dan pemilik studio film Perseroan Artis Indonesia (Persari), Djamaluddin Malik, mengusulkan kepada Dewan Film Indonesia (DFI) agar HFN merujuk pada hari pertama produksi film The Long March/ Darah dan Doa.
Dikutip dari pengantar buku Merayakan Film Nasional (Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemdikbud, 2017), dengan penyesuaian ejaan bahasa Indonesia terbaru, begini cuplikan usulan Djamaluddin Malik.
“Saya ingin mengulangi sekali lagi saran dari Sdr. Ketua yang saya anggap sangat penting, yaitu mengenai hari film tersebut, supaya mandatnya tidak kita serahkan kepada DFI, tetapi kita tentukan bersama, apakah pada hari penerimaan Lencana Wijayakusuma, apakah hari yang ditentukan dari Dept. PD & K?” kata Djamaluddin Malik.
“Apakah hari pada waktu film Indonesia yang pertama diedarkan sebagai Hari Film? Apakah hari pembuatan film yang pertama? Film yang pertama yang dibuat oleh swasta adalah film ‘Long March’. Jadi saya mengharapkan supaya ini diberitahukan kepada Ketua DFI, yaitu hari pembuatan film ‘Long March’. Itu produksi film nasional dengan segala sejarahnya,” lanjutnya.
Hal itu ditanggapi Kolonel Sukardjo dengan menyetujui hari pertama syuting dalam produksi film The Long March atau Darah dan Doa lebih cocok sebagai tonggak Hari Film Nasional.
Dalam catatan Totot Indarto, Darah dan Doa adalah film karya sutradara Usmar Ismail yang diakui sebagai film pertamanya. Padahal, sebelumnya Usmar telah membikin beberapa film. Setelah mendukung Andjar Asmara menyutradarai film Gadis Desa, Usmar menyutradarai tiga film dari ide cerita dan skenarionya sendiri, Harta Karun, Tjitra, dan Si Bachil. Usmar lalu terdorong mendirikan perusahaan produksi film sendiri untuk mengakomodir idealismenya, yaitu Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini).
Dari situlah, bermodalkan pesangon dari dinas ketentaraan semasa dia menjadi Mayor TNI di Yogyakarta (1945–1949) dan staf pengarang di Pusat Kebudayaan Jakarta, Usmar membuat film The Long March atau yang lebih populer dikenal dengan judul Darah dan Doa. Film inilah yang diakui sebagai film pertama Usmar.
“Meskipun saya telah membuat dua film sebelum Darah dan Doa, film itu saya rasakan sebagai film saya yang pertama. Karena buat pertama kalinya sebuah film diselesaikan seluruhnya, baik secara teknis-kreatif maupun secara ekonomis, oleh anak-anak Indonesia. Buat pertama kalinya pula, film Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya,” tutur Usmar dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film (1983).
Kisah Perjuangan
Perfini menjadi rumah produksi yang menanungi pembuatan Darah dan Doa. Usmar menyusun skenario dibantu penyair Sitor Situmorang. Pada 30 Maret 1950, berbekal kamera tua bermerek Akeley, rombongan produksi Darah dan Doa berangkat ke Purwakarta menyewa opelet rongsokan menuju tempat syuting. Hanya Usmar dan kameramen Max Tera yang berpengalaman dalam film.
“Pergi syuting dengan tiada cukup uang, pada galibnya pastilah akan mengakibatkan malapetaka. Selain produser, sutradara, penulis skenario, seringkali harus menjadi sopir, kuli angkut, make up man, pencatat skrip, dan asisten diri sendiri,” kenang Usmar. Wah, repot banget ya, Sob, jadi teringat, nih, sama video viral aktor Keanu Reeves waktu bantu angkut-angkut peralatan kru film John Wick 4.
Keanu Reeves helping the John Wick 4 production crew move equipment. Bless 👏 this 👏man 👏. pic.twitter.com/1SxKmPPve9
— SPENCE, TODD (@Todd_Spence) October 28, 2021
Dalam catatan filmindonesia.or.id, Darah dan Doa mengisahkan perjalanan panjang (long march) prajurit RI Divisi Siliwangi yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kapten Sudarto (Del Juzar). Mereka menghadapi ketegangan, ketakutan, dan penderitaan sepanjang jalan, termasuk serangan udara dari Belanda. Tak ketinggalan disinggung adanya pengkhianatan. Perjalanan diakhiri dengan telah berdaulat penuhnya Republik Indonesia pada 1950.
Kisah ini disajikan dalam bentuk narasi. Fokusnya pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan bagai “pahlawan”, melainkan manusia. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanan ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak sebagai peragu. Waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penelitian, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan sepanjang perjalanan. Ia memilih tidak memenuhi panggilan penelitian, lalu keluar dari tentara, apalagi melihat anak buah tadi sudah bergaya dengan jip dinasnya.
Film ini dibintangi antara lain Awaloedin Djamin yang kelak dikenal sebagai Kepala Polri, dan Suzanna yang berperan sebagai Ina. Namun, selebihnya adalah aktor-aktor yang tidak berpengalaman.
Perdebatan Alot dan Berliku
Meskipun Hari Film Nasional sudah disepakati oleh DFI pada pertemuan organisasi-organisasi perfilman pada 1962 silam, tanggal HFN belum sepenuhnya diterima dan tidak pernah dirayakan atau diperingati. Kemudian tersiar usulan lain untuk mengganti tanggal peringatan HFN, yaitu:
- 9 Mei karena tanggal pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS),
- 19 September yang diambil dari tanggal syuting pidato pertama Sukarno di Lapangan Ikada (Monas, sekarang), dan
- 6 Oktober mengingat tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, lalu menjadi Berita Film Indonesia dan Perusahaan Film Negara.
Lalu gimana dan mengapa hingga peringatan Hari Film Nasional ditetapkan pada 30 Maret?
Dari empat opsi itu, pilihan mengerucut pada 30 Maret atau 19 September. Tiga dekade kemudian, pada awal 1990, DFN menggelar sejumlah pembahasan bersama sejumlah orang yang terlibat dalam sejarah film di gedung Badan Sensor Film. Tanggal 19 September dinilai pelaku film Alwi Dahlan lebih bermuatan sebagai peristiwa jurnalistik, sementara tujuan penetapan HFN terkait peringatan pembuatan film cerita. Karena itulah, 30 Maret dititikberatkan sebagai HFN.
Dua tahun kemudian, sesudah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman diterbitkan, Presiden BJ. Habibie mengesahkan HFN melalui Keputusan Presiden RI Nomor 25/ 1999. Habibie menandatangani Keppres ini pada 29 Maret 1999. Dalam pidatonya sehari kemudian, Habibie menyebut urgensi identitas kebangsaan yang tidak bergantung pada komersialitas tecermin dari produksi film Darah dan Doa.
“Tanggal 30 Maret kita tetapkan sebagai Hari Film Nasional karena pada hari itu, 49 tahun yang lalu, untuk pertama kali seorang anak bangsa secara mandiri memproduksi sebuah film… Konsep film H. Usmar Ismail sangat bertolak belakang dengan konsep film pada masa penjajahan Belanda, yang hanya menjadikan film sebagai alat hiburan, karena tidak merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa kita. Begitu pula pada masa penjajahan Jepang, film hanya dijadikan sebagai alat propaganda.”
Belakangan Usmar Ismail juga dinobatkan sebagai Bapak Perfilman Nasional dan telah bergelar pahlawan nasional sejak 2021. Nah, begitu sekilas sejarah mengapa peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret. Gimana caramu memperingati HFN tahun ini, Sob?