Sejak bertaut dengan isu kontemporer di masyarakat, karya seni pertunjukan teater makin terasa ramah dan dekat bagi kalangan penikmatnya. Sebuah grup atau gabungan seniman berwadah Garasi Performance Institute dari Yogyakarta berhasil mempresentasikannya dengan baik. Karya terbaru mereka membingkai kerusakan global melalui paduan ragam teknik seni mutakhir.
Di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis malam (17/8/2023), panggung putih kosong perlahan berisi orang-orang yang berjalan cepat masuk. Diiringi alunan musik live nan ritmis, mereka mengisi beberapa sudut ruang panggung.
Mereka tegak berdiri dalam satu-dua pose yang kokoh. Kemudian berjalan berpindah, menghasilkan komposisi. Bertajuk Waktu Batu. Rumah yang Terbakar (WBRyT), lakon teater ini mengembang sebagai tontonan segar bagi penonton yang hadir.
Malam itu jadi saksi mengesankan dari sebuah pertunjukan teater eksperimental berdurasi sekitar 75 menit. Dibandingkan pertunjukan realis, Teater Garasi—sebutan lain untuk Garasi Performance Institute, selanjutnya disebut Garasi—malam itu dan Jumat (18/8/2023) menampilkan teater yang “bukan-bukan”.
Kocap Carita
Secara kanonisasi cerita, nama-nama tokoh di WBRyT bergelontoran antara tokoh fiksi dan nyata. Penghadiran mereka pun diperankan oleh aktor-aktor yang tidak ditentukan saklek sedari mula. Tak cuma itu, barangkali menonton pertunjukan ini turut menimbulkan kecanggungan. Garasi bermain, memainkan, dan mempermainkan batasan antara aktor dan bukan aktor.
Hal itu terwujud dengan penerapan teknik perekaman video di atas arena yang beberapa kali menyorot laku para aktornya. Hasil shoot itu lalu ditampilkan pada layar-layar yang terpancang di panggung sisi belakang. Maka Gracia dan ratusan penonton lain dapat menyimak tiga hal sekaligus: para aktor memerankan tokoh tertentu, kamerawan menodongkan mata lensa videonya ke arah mereka, dan proyeksi hasil rekaman itu.
WBRyT merupakan karya pertunjukan silang-media yang memadu-kelindankan teater, sinematografi, dan video gim tentang duka ekologis (ecological grief). Dalam pertumbuhan adegan pertunjukan ini, isu itu diulas—sehingga mengundang penonton untuk berpikir, merasa, bertanya-tanya dalam proses mencerapnya—hingga memuncak sebagai pernyataan atas murka ekologis (ecological rage).
Penerapan video gim mewujud momen interaktif dengan penonton. Alhasil jadi suguhan menggemaskan dan menyenangkan. Di pertengahan pertunjukan, aktor Tomomi Yokosuka tiba-tiba menjebol “dinding keempat” (the fourth wall) dan menyapa penonton dalam gedung baru Graha Bakti Budaya.
“Selamat malam para penonton…”
Lantas, Tomomi tampak menjadi penengah dan penyemangat pertandingan antara kedua aktor (Ari Dwianto dan Putu Alit Panca Nugraha) yang memerankan dua “karakter” lelaki bertanding. Uniknya, tiga orang penonton terpilih secara acak untuk mengirimkan instruksi bagi masing-masing karakter tersebut. Ada pilihan lompat, tangkis, tendang, dan pukul. Penonton bersorak dan bertempik. Akhirnya, seorang karakter kalah tergeletak.
Isu Kerusakan Alam
Secara pepat dan padat, sepanjang pertunjukan kita dibawa keluar-masuk dari satu wacana ke wacana dan isu lain, juga tatanan panggung dan bebunyian yang variatif. Selain termenung, keheningan bangku penonton refleksi rasa terkejut yang teredam oleh pukauan tata cahaya dan visualisasi yang terproyeksi ke lantai dan dinding panggung.
Meski tampak tumpang-tindih, beragam elemen seni di panggung tidak saling menegasi, Sob. Kita masih dapat menyimak ketangguhan para aktor menguasai ruang dan perangkat ketubuhan sebagai modal permainan untuk membingkai isu kerusakan global.
Vokal lantang dan jelas meski aktor-aktor berbaring dan berguling-guling. Penggalan atau renik perilaku generasi digital yang akrab dengan medium layar ponsel (swafoto, swavideo) pun hadir sebagai cermin realitas manusia kiwari.
Lewat penghadiran sosok Silvia Federici, profesor ilmu sosial cum aktivis feminis AS (diperankan Enji Sekar), sejumlah catatan pandangan tentang peran perempuan dalam lingkungan sosial, politik pangan, hingga perekonomian berhamburan memenuhi panggung. Terjemahan teks yang dibacakannya tertera di dinding panggung, secuplik isinya menggambarkan situasi pertanian di Afrika.
Katanya: …Perempuan memainkan peran besar dalam produksi pertanian… Perempuan memiliki akses ke lahan penggunaan sumber dayanya…
Secara kontras, di sekitarnya anak lelaki rusuh wira-wiri berulang-ulang berseru, “Mak, lapar! Mak, lapaar…!”
Citra Federici dengan lekas tanggal dan mewujud perempuan yang kewalahan menghadapi anak rewel (berkepala mesin penanak nasi elektronik) yang mengiba-iba makanan. Si perempuan seketika menempeleng si anak dengan centong di tangannya. Ialah kini Dewi Sinta yang memukul Prabu Watugunung kecil, putranya.
Peristiwa kunci hikayat menyoal waktu yang menjadi ruh kisah itu bertaut dengan cerita perkawinan ganjil dan tak sengaja Prabu Watugunung dengan ibunya, Dewi Sinta. Dari situ keduanya bertikai dan terciptalah pawukon atau sistem penanda waktu.
Dengan mengambil semiotika visual, perempuan-perempuan di ruang makan atau dapur dimunculkan berseberangan dengan dua perempuan duduk berbincang di sofa merah sambil memetik kacang panjang. Dengan dikedepankan, perempuan-perempuan tampak lebih diperdengarkan suaranya.
Selain paduan gerak-gerik pelakon dan teknis audio-visual, Garasi menyajikan sensasi lain sebuah pementasan yang tak tepat lagi disebut teater konvensional. Membuka dan menutup pertunjukan WBRyT, musik yang dimainkan ME.L.BI mengatrol perhatian penonton untuk bertahan duduk satu jam lebih di bangku. Tidak banyak band yang mampu bersinergi membentuk keutuhan pertunjukan teater seperti itu demi membingkai kerusakan alam yang menjadi isu global.
Maka, tatanan bentuk-isi pertunjukan ini sedemikian rupa menjadi eksperimen teater “gaya baru”. Adakah yang baru di bawah mentari? Garasi dan tim produksi WBRyT seolah menjawab dengan mengunjuk kepada skena teater modern Indonesia: Ada!
Kehadiran Ugoran, Yennu Ariendra, Yossy Herman Susilo bersama personel band Majelis Lidah Berduri turut membuat WBRyT jangkap jadi pertunjukan teater “yang bukan-bukan”. Ia menyempal dari teater yang biasa, menjelajahi dan membentuk dirinya sebagai sebuah drama panggung nan eksperimental.