Sobat, tahu nggak sih kalian jika setiap tanggal 24 Oktober, Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional, lho. Yups, peran dokter, terlebih di masa pandemi Covid-19 yang berlangsung selama 2 tahun belakangan ini sangatlah vital karena dibutuhkan untuk penyembuhan pasien. Nah, tapi pada peringatan Hari Dokter Nasional tahun ini, Sampaijauh.com tak akan membahas dokter-dokter inspiratif di zaman sekarang namun ingin mengenang Mas Asmaoen, yang merupakan dokter pertama Indonesia.
Ya, senyatanya bidang keilmuan medis di Indonesia sudah dimulai dari zaman sebelum merdeka, lho, Sob. Kala itu Mas Asmaoen yang memperkenalkan ilmu kedokteran di Tanah Air sedang menempuh pendidikan di School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) dengan status lulus serta menyandang gelar dokter. Nggak hanya gelar dokter dari tempat ia menuntut ilmu, Universiteit van Amsterdam, Mas Asmaoen juga menyandang predikat bumiputera pertama yang mendapat gelar dokter Indonesia.
Melansir dari historia.id, Mas Asmaoen sebelumnya mengenyam pendidikan di STOVIA, sekolah dokter khusus bumiputera di zaman dahulu, sebelum akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk bisa melanjutkan pendidikan di Belanda demi mendapatkan gelar dokter penuh.
Dapat menempuh kuliah kedokteran ke Belanda dari STOVIA tentulah tidak semudah yang diperkirakan, apalagi bagi kaum pribumi. Hanya para siswa yang betul-betul pintar yang mampu mendapatkan alkses tersebut. Ia berhasil lulus setelah sekolah selama 3 tahun.
Sebenarnya, Mas Asmaoen tidak sendiri melanjutkan pendidikan ke Belanda, ia mendaftar bersama rekan pelajar di STOVIA yakni Mas Boenjamin di fakultas kedokteran Universitas Amsterdam pada 1908. Keduanya merupakan mahasiswa yang cemerlang sejak di STOVIA. Namun memang Mas Asmaoen lah yang lulus terlebih dahulu. Ada juga Abdul Rivai yang sebenarnya menjadi orang pertama yang mendapatkan izin studi kedokteran di Belanda bagi siswa STOVIA dari Menteri Urusan Daerah Jajahan, Dirk Fock.
Setelah lulus dari kedokteran Universitas Belanda, Mas Asmaoen sempat beberapa bulan bekerja di Institute of Naval and Tropical Medicine di Hamburg. Ia lalu mendapat kesempatan pulang ke Tanah Air dan menikah dengan perempuan berdarah Belanda kelahiran Surabaya yaitu Adriana Asmaoen-Punt, di tahun 1908.
Sambil meniti karir kedokteran, Mas Asmaoen pun ditugaskan untuk berdinas di Kantor Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau kantor Tentara Kerajaan Hindia Belanda sebagai perwira kesehatan KNIL.
Di tempat tersebutlah ia dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang ditugaskan sebagai tenaga kesehatan atau dokter untuk mengobati para tentara yang terluka.
Namun sayangnya, tugasnya tersebut dianggap remeh oleh para perwira Belanda, di mana banyak perwira Belanda menolak memperlakukan Asmaoen sebagai dokter. Tak lama berselang, ia pun dipindahkan ke Irian sebelum akhirnya pindah selamanya ke Negeri Kincir Angin dan menetap di sana, hingga akhir hayatnya (tahun 1916).
Meskipun dedikasinya sebagai dokter terbilang singkat dan bahkan lebih banyak mengobati para perwira Belanda, namun Mas Asmaoen tetap diapresiasi karena menjadi bukti bahwa pribumi Indonesia di masa lampau dapat mengenyam pendidikan tinggi hingga mendapat gelar sebagai dokter yang mampu menyembuhkan para perwira yang terluka akibat perang.