Kentongan tentunya akrab sebagai sarana pendamping saat masyarakat Indonesia sedang melakukan ronda atau siskamling. Alat bunyi bunyian yang berasal dari bambu atau kayu berongga itu dibunyikan dan dipukul oleh tongkat pemukul tepat di bagian tengah badannya untuk menyatakan tanda waktu, makna bahaya hingga mengumpulkan warga oleh petugas ronda atau oleh warga desa jika mendesak.
Ronda biasa dilakukan beregu hingga 7 orang saat malam hari untuk mengawasi desa atau komplek dari tindak pencurian, memantau waspada bahaya misalnya bencana alam dan menginformasi kepada warga mengenai keadaan sekitar.
Cara orang orang yang sedang ronda memberikan informasi kepada warga yang di rumah adalah dengan membunyikan kentongan. Karena jenis informasi tidak hanya ada satu macam saja, maka ada aturan bunyi kentongan untuk setiap pesan yang berbeda. Penting bagi semua warga untuk mengetahui makna dari bunyi kentongan yang dipukulkan petugas ronda.
Meski makna dari bunyi kentongan bisa berbeda di setiap tempat, namun simbol ini yang biasanya banyak dipakai:
- Kentongan dipukul 1-1-1 = adanya berita lelayu atau pembunuhan
- Kentongan dipukul 2-2-2 = ada pencuri/menangkap pencuri.
- Kentongan dipukul 3-3-3 = ada kebakaran (bencana alam).
- Kentongan dipukul 4-4-4 = adanya banjir (bencana alam).
- Kentongan dipukul 5-5-5 = adanya maling barang / maling ternak.
- Kentongan dipukul 1-7-1-7-1-7 (satu kali, jeda, tujuh kali berulang, jeda, satu kali, jeda, tujuh kali berulang dst) atau ada juga yang 6 kali berulang hingga 1 kali pukulan terus menerus setiap 1 jam = situasi aman terkendali
Kentongan biasa diletakkan di balai desa untuk yang berukuran paling besar dan berbunyi paling keras. Bisa mencapai tinggi 1 -2 meter hingga diameter berukuran 40 cm. Sedangkan yang berukuran lebih kecil diletakkan di rumah kepala desa, lurah atau RT hingga di rumah-rumah warga.
Pemakaian benda yang mempunyai nilai sejarah tinggi di Indonesia ini dimulai saat ditemukan oleh Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa sekitar abad XIX di Nusa Tenggara Barat hendak mengumpulkan massa. Lalu di Pulau Jawa tepatnya Yogyakarta, kentongan Kiai Gorobangsa juga dipakai di era Kerajaan Majapahit.
Ternyata fungsi kentongan tidak hanya untuk memberikan pesan ke warga, tetapi juga digunakan dalam kegiatan kebudayaan yaitu pertunjukan ketoprak. Kentongan dipakai untuk menandai gending tertentu. Selain itu, di beberapa masjid, kentongan juga menjadi alat penanda waktu beribadah selain beduk.