Perlahan banyak orang yang mulai menemukan solusi untuk mengolah limbah menjadi bahan bernilai jual. Salah satunya seperti limbah sabut kelapa atau disebut juga hasil olahan cocopeat. Olahan limbah sabut kelapa ini sudah mendunia, loh.
Sudah tahu belum Sob, cocopeat adalah hasil pengolahan dari sabut kelapa yang sudah tua. Sebelum menjadi cocopeat, sabut kelapa tersebut melewati beberapa tahap proses. Mulai dari pencucian, pengeringan, dan pengayakan.
Cocopeat biasanya sangat populer digunakan sebagai bahan organik untuk pertanian dan peternakan. Limbah sabut kelapa tua ini memiliki sifat yang baik untuk dijadikan sebagai tanah pengganti.
Salah satu orang yang sukses memanfaatkan limbah sabut kelapa hingga mendunia adalah Taufik, pria berusia 31 tahun, warga Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Pangandaran, Jawa Barat.
Taufik berhasil mengolah dan memanfaatkan limbah sabut kelapa menjadi media tanam. Atas kreativitasnya ini, dia mampu memberikan tambahan penghasilan kepada para petani, Sob.
“Cocopeat diambil dari limbah sabut kelapa. Dulu, petani hanya mengambil buahnya. Ternyata, sekarang nilai ekonominya lebih besar ketimbang buahnya bila diolah dengan benar, bisa sampai belasan kali lipat,” tutur Taufik.
Pangandaran merupakan sentra kelapa di Jabar. Banyak warga yang bergantung hidupnya pada hasil kelapa. Data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2022 mencatat, luas lahan sentra kelapa ini sebesar 25.266 hektare atau sekitar 15 persen dari luas total Pangandaran 168.000 hektare.
Produksi cocopeat di daerah Pangandaran mencapai 13.148 ton per tahun. Sementara di dalam pabrik olahan cocopeat miliknya di Cintakarya, Taufik mampu menghasilkan cocopeat hingga 2 ton per hari.
Selama prosesnya, limbah sabut kelapa dimasukkan ke dalam mesin giling yang didesain khusus untuk dicacah menjadi dua jenis, yaitu cocopeat dan cocofiber. Cocofiber memiliki tekstur serat yang kasar sehingga sering diolah menjadi furnitur hingga jok kendaraan kelas premium.
Setelah digiling dalam mesin penggilingan, limbah sabut kelapa masuk ke tahap berikutnya, yaitu proses pencucian hingga pemerasan.
Taufik mengungkapkan, dia pertama kali belajar soal cocopeat dan cocofiber dari pendiri Ketua Produsen Mitra Kepala (KPMK), Yohan. Selain pendiri KPMK, Yohan pencipta mesin pemanas. Bahkan mesin buatannya disebut-sebut sebagai mesin satu-satunya di dunia ini, Sob.
Setelah mesin dinyatakan rampung dibuat pada 2022, Taufik tidak lagi mengandalkan proses pemerasan dan penjemuran cocopeat pada alam untuk mendapatkan kadar air 20 persen.
“Dulu harus dijemur selama dua hari. Sekarang dengan mesin hanya butuh dua jam,” ujarnya.
Dengan kemudahan itu, hasil olahan cocopeat dapat menjangkau pasar ekspor yang lebih terbuka. Sedari lama, konsumen menginginkan produk cocopeat konsisten berkadar air 20 persen. Tujuannya untuk menciptakan kelembaban produk yang baik saat digunakan.
Taufik mengolah limbah sabut kelapa ini nggak sendirian, Sob. Dia melakukannya bersama belasan anak muda lain di daerahnya. Hebatnya lagi, limbah sabut kelapa yang diproduksi Taufik sudah diekspor ke pasar internasional, salah satunya Jepang. Pada awal tahun ini Taufik berhasil mengirimkan 28 ton ke Negeri Matahari Terbit. Ekspornya dilakukan nggak hanya sekali, tapi berulang kali pada Maret dan Juni.
Selain Jepang, produksi cocopeat dari Taufik juga diekspor ke Cina dan Korea Selatan, Sob. Kabarnya cocopeat buatan Indonesia sangat diminati oleh negara-negara tersebut.
“Saat ini produksinya hanya mampu memenuhi 5 persen permintaan. Bila terus digenjot ia yakin bisa memasok kebutuhan hingga 30 persen, terutama untuk pasar Eropa. Peran anak muda, seperti Taufik dan teman-temannya, bisa ikut meraih potensi itu atau bahkan lebih besar,” kata Yohan selaku pendiri Ketua Produsen Mitra Kepala (KPMK).