Indonesia semakin gencar larang ekspor mineral mentah, meliputi bijih nikel, bijih bauksit, hingga konsentrat tembaga. Namun, berbeda dengan larangan bijih bauksit yang akan diterapkan pada Juni 2023, larangan ekspor konsentrat tembaga belum ditentukan waktu yang pasti oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ditengarai bila larangan ekspor konsentrat tembaga dilangsungkan, Indonesia melalui PT. Freeport Indonesia (PTFI) berpotensi kehilangan pendapatan ekspor hingga 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp120 triliun per tahun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Perhitungan ini didasari asumsi harga tembaga sebesar 4,5 dolar AS per pon.
“Cukup besar ya (potential loss), hitung saja kalau harganya 4,5 dolar AS per pon tembaga, itu revenue-nya setahun bisa 8 miliar dolar AS,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Tingginya potensi kerugian negara akibat larangan ekspor konsentrat tembaga disebut Arifin sebagai salah satu pertimbangan pemerintah terkait rencana kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah per Juni 2023.
Terkait pelarangan ekspor tersebut, Kementerian ESDM juga mempertimbangkan penggunaan smelter milik Freeport yang tengah didirikan di kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated Industrial and Ports Estate di Gresik, Jawa Timur. Saat ini, progres pembangunannya sudah 60 persen. Smelter pengolahan tembaga ini diperkirakan dapat beroperasi penuh pada akhir 2024.
Smelter tersebut digadang-gadang menjadi smelter single line terbesar di dunia dengan kapasitas olahan 1,7 juta konsentrat tembaga per tahun. Selain tembaga, setiap tahunnya smelter ini juga akan menghasilkan 35–50 ton emas dan 100–150 ton perak.
Di samping itu, PTFI sebagai bagian dari holding BUMN pertambangan MIND ID sudah mengeluarkan dana hampir 2 miliar dolar AS untuk pembangunan smelter tersebut. Menurut Arifin, saat larangan ekspor konsentrat tembaga diterapkan, produk dari pabrik smelter PTFI yang sudah dibuat sebaiknya hanya diserap untuk dalam negeri saja.
“Kalau misal dilarang (ekspor) ya loss-nya banyak, karena kita 51% (pemegang saham Freeport) dan kemudian ada lagi pendapatan yang berbentuk pajak oleh pemerintah,” lanjutnya.
Sementara itu, Juru Bicara PTFI Katri Krisnati melaporkan bakal ada potensi kerugian bagi penerimaan negara mencapai Rp57 triliun jika pemerintah menghentikan kegiatan ekspor konsentrat tembaga. Potensi kerugian ini dihitung dari besaran penerimaan negara yang hilang dalam bentuk pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak.
Terkait kemungkinan relaksasi dari kebijakan larang ekspor konsentrat tembaga khusus Freeport, Arifin hanya mengatakan persoalan dampak untung-rugi kebijakan ini akan dibahas lebih lanjut termasuk bersama Presiden Joko Widodo.