Normalnya, di bulan Juni, sebanyak 56 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. Namun yang terjadi justru cuaca di Indonesia seringkali hujan dan hawanya menjadi lebih dingin. BMKG juga telah menyampaikan bahwa mulai akhir Mei 2021 Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) kemudian menjelaskan bahwa Indonesia kembali hadapi kemarau basah.
Disampaikan langsung oleh Erma Yulihastin selaku peneliti di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN, lewat keterangan tertulis di akun resmi twitter @LAPAN_RI pada Senin (21/6), bahwa ada beberapa penyebab Indonesia kembali hadapi kemarau basah di tahun ini. Terutama karena pengaruh dinamika laut-atmosfer yang terjadi di Samudra Hindia tepatnya bagian Sumatra dan Jawa.
Saat ini di Samudra Hindia terdapat dua fenomena pembentukan yang pengaruhi dinamika laut-atmosfer yaitu pembentukan vorteks dan Dipole Mode negatif,
Pembentukan Vorteks
Vorteks adalah pembentukan pusat tekanan rendah berupa pusaran angin. Sekarang ini, vorteks terbentuk di selatan ekuator dekat pesisir barat Sumatra dan Jawa.
Pembentukan vorteks yang sudah terjadi sejak awal Juni ini diprediksi akan bertahan sepanjang periode musim kemarau di Indonesia. Akibat dari pembentukan vorteks yaitu menciptakan anomali kemarau basah sepanjang bulan Juli-Oktober pada tahun 2021 ini.
Dipole Mode negatif
Selain pembentukan vorteks yang turut mempengaruhi dinamika laut-atmosfer di dekat Indonesia, kemarau basah juga diperkuat dengan pembentukan Dipole Mode negatif yang bisa menimbulkan fase basah di Indonesia bagian barat.
Akibat dari pembentukan Dipole Mode negatif ini yang dijelaskan oleh Erma Yulihastin yaitu suhu permukaan laut di di Samudra Hindia dekat Sumatra akan menghangat, sedangkan permukaan laut di wilayah yang dekat Afrika akan mengalami pendinginan suhu.
Karena peningkatan suhu inilah terjadi pemusatan aktivitas awan dan hujan di Samudra Hindia tepatnya di bagian barat Sumatra sehingga berdampak hujan berkepanjangan selama musim kemarau untuk sebagian wilayah Indonesia.
Suhu permukaan laut di Samudra Hindia yang hangat juga merupakan bagian dari feedback response terhadap kondisi di Samudra Pasifik yang mengalami La Nina namun semakin melemah dan cenderung menuju kondisi netral.
Dipole Mode negatif ini diprediksi hanya berlangsung singkat selama bulan Juli-Agustus. Meski demikian, penghangatan suhu permukaan laut di perairan Indonesia dan pembentukan vorteks masih terus berlangsung hingga Oktober.
Erma menutup keterangan tertulisnya di akun @LAPAN_RI dengan menerangkan bahwagabungan dipole mode negatif yang akibatkan peningkatan suhu permukaan laut dan juga pembentukan vorteks merupakan faktor penyebab terjadinya anomali musim kemarau cenderung kembali basah pada tahun ini.
Tidak hanya di wilayah Sumatra dan Jawa, kemarau basah juga terjadi hingga Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan Halmahera.